Cerpen ini saya dedikasikan untuk para bidan dan ibu di seluruh dunia. Terima kasih atas perjuangannya untuk melahirkan seorang anak manusia ke muka bumi. Selamat hari ibu, I love you, Ibu :)
“Ruminah, cepat kemari”
Baru saja, aku ingin memejamkan mata, suara emak teriak memanggilku. Kutemukan diriku dalam kelelahan dalam cermin sebelum aku menghampiri emak. Aku memang kurang tidur dalam beberapa hari ini. Tapi, kupaksa kakiku untuk segera melangkah keluar dari kamar tidurku.
“Ada apa, mak ?”
“Cepat ke dusun sebrang. Anaknya Nyai Darsih, akan segera melahirkan.”
Aku menghela napas. Emak terlihat sangat panik. Maklum saja, Nyai Darsih adalah teman dekat emak. Aku segera kembali ke kamar tidurku, meninggalkan emak dengan kepanikannya. Seperti virus, kepanikan yang emak rasakan kini tertular padaku. Aku mempersiapkan peralatan medisku yang kiranya diperlukan dalam proses persalinan nanti. Ditengah keburu-buruanku, mataku masih sempat melihat jam di dinding, arah jam menunjukan pukul dua dini hari. Lewat tengah malam. Aku memang sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini.
Aku keluar kamar. Kulihat emak mondar mandir tak karuan. Aku memanggilnya, bermaksud meminta doa restu kepadanya. Pancaran matanya emak kini terlihat terbelah. Aku tahu konsentrasi emak bukan hanya memikirkan tentang persalinan anak gadisnya Nyai Darsih, tapi juga aku – anak gadisnya. Sepertinya emak khawatir atas keselamatanku. Agak berat bagi emak, melepaskan anak gadisnya pada jam yang tak lazim seperti ini. Sendiri pula. Tapi, aku menghiburnya dengan mengatakan padanya bahwa aku akan sampai ke Nyai Darsih dengan selamat dan akan baru pulang subuh nanti. Emak mengangguk.
“Assalamualaikum”
Kuucapkan salam tanda aku melangkah pergi meninggalkan rumah. Aku mengayuh sepeda kumbangku. Selama aku menjalani profesi sebagai seorang bidan, sepeda kumbang inilah yang selalu menemaniku setiap kali melakukan perjalanan medis ke rumah-rumah warga yang membutuhkan kesehatan. Entah berapa kilometer jarak yang sudah kutempuh dengan sepeda kumbang ini. Untuk saat ini, sepeda kumbang ini adalah harta yang tiada taranya bagiku.
Dalam perjalananku menuju rumah Nyai Darsih, aku hanya ditemani oleh suara jangkrik, gemuruh angin. Sunyi. Penerangan lampu disini juga tidak memadai. Aku perlu berhati-hati, karena bisa saja aku terjatuh karena tak sengaja melintasi bebatuan besar. Aku mengayuh sepedaku dengan pasti. Memang perlu waktu lama untuk sampai di dusun dimana Nyai Darsih tinggal. Setidaknya aku harus melewati tiga dusun terlebih dahulu, hingga nanti aku melintasi sebuah jembatan kayu sebagai pertanda penghubung antara dusunku dengan dusun Nyai Darsih.
Tapi, ditengah-tengah menempuh perjalanan aku seperti dihadapakan dengan sebuah kejadian masa lalu. Kejadian ketika aku baru memulai menggeluti profesi sebagai seorang bidan. Sebelum aku dipercaya seperti sekarang, aku terlebih dahulu menghadapi kesulitan. Mungkin itu adalah masa-masa tersuram dalam hidupku.
Delapan tahun lalu, saat aku baru saja lulus dari Akademi Kebidanan, aku luar biasa girang. Karena menjadi seorang bidan adalah cita-citaku dari kecil. Selang sehari kelulusanku, aku berkeliling ke rumah tetangga, mengabari mereka bahwa mereka bisa menggunakan jasaku dalam proses persalinan dengan biaya sukarela. Tapi, enggan bagi mereka. Orang-orang di dusunku lebih percaya pada dukun. Namanya, Mbah Sujah. Dia adalah dukun yang paling mahir di dusunku. Sangking mahirnya beliau, setiap meminta jasanya untuk menyembuhkan penyakit atau membantu persalinan, harus mengantri terlebih dahulu. Mbah Sujah pula yang membantu emak pada masa persalinan diriku. Ya, Mbah Sujah memang dieluh-eluhkan oleh orang-orang di dusun sebagai seorang dewa.
Semasa kecil, aku sudah kritis terhadap orang-orang didusun ini. Kenapa di zaman yang sudah amat modern ini, segala teknologi dan ilmu kesehatan sudah sangat maju, orang-orang seperti itu masih saja percaya terhadap hal-hal seperti itu. Bahkan, ada diantara mereka yang menyembah pohon-pohon kramat untuk meminta kesehatan. Bukannya hal itu termasuk menyekutukan Tuhan. Entahlah.
Aku sadar, bahwa orang-orang di dusun tak mudah percaya dengan aku begitu saja. Bidan yang masih bau kencur, kata mereka. Tapi, aku berusaha sekuat tenaga. Tapi, semakin aku berusaha sekuat tenaga, usahaku terlihat sia-sia. Karena pikiran mereka terkikis oleh sebuah kepercayaan yang mendalam, bahwa seorang wanita ingin melahirkan satu-satunya tempat yang harus dikunjungi adalah dukun. Aku menyerah.
Akhirnya, aku berkerja sebagai bidan di kota. Berat bagiku, karena harus meninggalkan emak yang sudah sakit-sakitan. Lemah tak berdaya. Tapi pikirku, ini hanya sementara. Aku akan kembali kesini dan melayani para wanita di dusun ini yang ingin melahirkan. Karena memang itu tujuanku menjadi bidan. Aku ingin dusunku tersentuh dengan sesuatu yang berbau medis, bukan hal yang berbau magis.
Benar saja pikiranku, tiga tahun lalu Mbah Sujah meninggal dunia. Semua orang di pelosok dusun berduka. Aku pun ikut sedih ketika dia meninggal, tapi aku satu-satunya orang yang diuntungkan dari meninggalnya Mbah Sujah. Tapi bukannya, aku ingin memanfaatkan keadaan. Kenyataannya, memang hanya aku bidan di dusun itu. Pasien mulai datang menghampiriku. Baik hanya sekedar pemeriksaan kandungan atau persalinan. Aku rasa mereka percaya padaku, bukan karena kemampuanku melainkan karena tak ada pilihan lain.
Disatu sisi aku menikmati profesiku sebagai bidan. Walaupun aku hanya dibayar sukarela. Tak apalah, niatku hanya ingin menolong umat manusia. Tapi, ditengah kecintaanku terhadap profesiku, ada sebuah kejadian yang menapar dan menohokku.
Suatu ketika, aku pernah gagal menyelamatkan seorang ibu dan bayinya ketika persalinan. Ibu tersebut menghadapi pendaharan hebat sebelum melahirkan sehingga bayinya meninggal di dalam rahimnya. Maut mengambil sepasang Ibu dan bayinya dalam ketenangan di suatu senja. Namun, suaminya seakan tak terima dengan kenyataan itu. Ia marah kepadaku. Mengucapkan sumpah serapah kepadaku. Dan yang tak disangka, bahwa ia berani mengumpulkan para massa di dusunku, berniat membakar rumahku. Aku dan emak ketakutan. Pikiranku buntu bagaimana caranya meredamkan amarah para massa yang sedang kalut itu. Untung saja, kepala dusun menghentikan aksi tidak waras mereka. Aku masih ingat sekali, aku dan emak saling berpelukan. Dalam batin aku berucap, “ Bidan bukan Tuhan. Bidan hanyalah perantara Tuhan untuk melahirkan anak manusia ke muka Bumi.”
Jika Tuhan menghendakai anak manusia lahir di muka bumi ini maka terjadilah. Tetapi, Jika Tuhan tidak mengendaki lahirnya anak manusia, Dia bisa saja merengkutnya kapan pun.
Semenjak kejadian itu aku tidak lagi menjalankan praktek bidanku. Hampir tiga bulan lamanya. Namun, emak meyakinkanku untuk melanjutkan praktek bidan. Aku mengiyakan.
Jarak tempuhku sudah tak jauh lagi, sebentar lagi aku sampai ke rumah Nyai Darsih. Kenanganku menjadi penghias perjalananku menuju rumah Nyai Darsih. Satu lagi, anak manusia akan lahir melalui perantaraku. Aku mengayuh sepadaku dengan kekuatan maksimalku. Hingga aku berhadapan dengan sebuah jembatan kayu berwarna merah, aku turun dari sepeda lalu menuntunnya melintasi jembatan kayu berwarna merah. Jembatan yang sudah ada sebelum aku lahir, namun masih tetap saja kokoh. Kadang aku belajar dari benda disekelilingku, seperti jembatan merah yang tetap berdiri kokoh walaupun sudah diterpa panas, badai dan angin puting beliung sekalipun. Aku ingin mempunyai jiwa yang kokoh seperti itu, tak kenal menyerah walaupun seribu orang menyerangku dengan sumpah serapah yang tak mengenakkan hati.
Rumah Nyai Darsih berada percis disebelah jembatan merah tersebut. Aku sandarkan sepeda kumbangku di sebuah pagar kayu. Aku mengetuk pintu rumah Nyai Darsih, terlihat dari binar matanya dia sangat menanti kedatanganku. Nyai Darsih menyambutku dengan hangat dan langsung mengantarku ke sebuah kamar. Aku lihat gadis Nyai Darsih, Sari sedang mengeram kesakitan.
“Sudah tahap pembukaan” ucap Nyai Darsih.
Aku menyiapkan segala peralatan medisku, mengeluarkan kain tradisonal bercorak bunga mawar merah yang biasa kugunakan. Nyai Darsih berada disamping Sari, menenangkan sambil mengenggam tangannya. Sedangkan suami Sari memilih untuk menunggu diluar kamar. Ini memang masa-masa tersulit bagi seorang wanita ketika harus berjuang melahirkan buah hatinya, tidak tanggung-tanggung maut menjadi taruhannya.
Sari terus mengedan, karena kepala janin turun dan masuk ruang panggul sehingga terjadilah tekanan pada otot-otot dasar panggul yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Sudah terlihat kepala bayi sudah mulai terlihat, perlahan-lahan bagian tubuh bayi yang lain juga terlihat. Hingga tangis keras bayi pertanda kehidupan seorang anak manusia dimulai. Nyai Darsih terlihat sangat bahagia. Sari pun menghela napasnya, terlihat kelegaan ditengah rasa sakitnya. Nyai Darsih menggendong cucunya, “Jenis kelaminnya laki-laki, sesuai harapanmu, nak” ucapnya kepada Sari seraya mendekatkan tubuh bayi itu kepada Sari. Nyai Darsih lalu memandangku,
“Krisna, akan kuberi nama Krisna”
Aku tersenyum. Tapi, aku berkosentrasi lagi pada pekerjaanku. Setelah bayi itu lahir, biasanya akan mengeluarkan plasenta yang diikuti darah. Aku pun mesti waspada jika suatu saat akan ada pendarahan setelah melahirkan yang mungkin saja membahayakan nyawa Sari.
Fiuh. Aku lega. Proses persalinan berjalan lancar. Aku tahu ini juga berkat emak yang tiada henti melantunkan doa-doa indah untukku. Bagiku, emak adalah segalanya. Bagaimana tidak. Seorang ibu harus meregang nyawa untuk melahirkan seorang buah hatinya lalu merawatnya sebaik mungkin.
Semenjak aku menjadi bidan, dan aku melihat langsung proses persalinan aku semakin menyayangi emak. Aku tahu pengorbannannya itu tidak sepele. Aku belajar dari pengalamanku sendiri.
Perlahan tapi pasti,
Aku pun sudah mendapatkan kepercayaan dari orang-orang di dusun, bukan lagi karena tak ada pilihan lagi. Tapi, aku rasa pola pikir mereka sudah berubah dan mempercayai pengobatan medis.
Betapa bersyukurnya aku di fajar yang cerah ini. Aku bisa menjadi perantara Tuhan untuk menolong seorang anak manusia lahir dengan selamat.
No comments:
Post a Comment