Sunday, October 16, 2016

Islam, Nasionalis dan Orang Arab


 Nemu artikel bagus. Silakan dibaca sebagai bahan renungan.


Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Peter Mansfield, dalam bukunya History of the Middle East, menyatakan bahwa Islam memang sejak kelahirannya tidak mengemukakan konsep tentang sebuah negara. Namun, seluruh bangunan hukum, tradisi dan ajaran-ajaran Islam bertumpu pada kekuasaan negara untuk mengatur kehidupan individu menurut garis-garis yang jelas. Mereka harus kawin berdasarkan aturan-aturan tertentu, membagi waris juga menurut aturan-aturan tertentu. Mereka harus taat pada pimpinan, seluruhnya merupakan acuan kenegaraan. Tidak heranlah, jika kaum muslimin banyak yang berpendapat, bahwa Negara Islam itu harus didirikan oleh mereka.


Pendapat ini ingin memberlakukan sebuah institusi tertentu dan mempertahankannya, seperti para pengikut gerakan yang ingin mempertahankan wangsa/ kerajaan ‘Utsmaniyyah (Ottoman Empire), seperti Shakib Arslan. Ia adalah seorang pemimpin suku Druz di Lebanon pada permulaan abad yang yang lalu, yang menjadi anggota parlemen wangsa tersebut. Dalam disertasi yang ditulis William L. Cleveland, ia tidak bisa dianggap menjadi pengikut anggota gerakan Nasionalisme Arab. Menurut buku Mansfield, Jamaluddin al-Afghani, Moh. Rasyid Ridha dan Abdurrahman al-Kawakibi, keharusan mendirikan Negara Islam memang ada, tetapi tidak oleh dinasti tersebut di atas. M. Rasyid Ridha dan al-Kawakibi umpamanya, menganggap Negara Islam itu haruslah didirikan dan dipimpin oleh orang Arab. Padahal dinasti Ottoman adalah bangsa Turki, karenanya tidak layak dan tidak sah khalifah (yang harus menjadi pemimpin) sebuah Negara Islam, dipegang oleh wangsa tersebut.


Sementara Mohammad Abduh dan sebagainya, tidak pernah mementingkan adanya Negara Islam, karena mereka tidak beranggapan bahwa ajaran Islam terkait dengan sebuah konsep kenegaraan. Mereka sudah puas, jika kaum muslimin melaksanakan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, pandangan Abduh itu sebenarnya sama dengan pendapat gerakan-gerakan Islam seperti NU, PSII/SI dan Muhammadiyah.


Dalam dua kutub yang bertentangan itu, berbagai macam pandangan yang mengajukan claim mewakili Islam berkembang dengan subur selama satu setengah abad terakhir ini. Diantaranya, adalah pandangan Imam Ruhollah Khomeini, yang mengajukan konsep Wilayat-i-faqih (pemerintahan para ahli hukum agama). Dalam tata negara Iran sekarang, kaum ulama diwakili oleh Khubrigan (Dewan Pakar) yang berjumlah delapan puluh orang, dan memiliki kekuasaan membatalkan keputusan Presiden maupun parlemen (Majelis), jika dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Dewasa ini, terjadi pertentangan yang tajam, karena Khubrigan melarang ratusan orang untuk turut serta menjadi caleg (calon legislative) dalam pemilu yang akan datang. Ini dianggap oleh banyak kalangan, termasuk mahasiswa sebagai pelanggaran konstitusi, karena melampaui wewenang pembatalan/ anulasi tersebut di atas. Sangatlah menarik untuk mengikuti perkembangan yang terjadi di Iran itu, karena bagaimanapun juga akan menyangkut perkembangan Islam di seluruh dunia.


Di Indonesia, keadaannya sedikit berbeda dari pada di negeri-negeri Arab. Memang pandangan berbagai pihak tentang harus ada sebuah Negara Islam, boleh dikata menjadi pandangan mereka yang menganggap diri sebagai “golongan Islam”, namun pendapat berbeda justru datang dari kelompok yang dianggap “golongan nasionalis”. Jika “golongan nasionalis” di Indonesia tersebut telah melalui “politisasi” makna, hingga merasa tidak layak disebut “golongan Islam”, maka di kawasan Timur Tengah bahkan sebaliknya. “Golongan Nasionalis” menganggap nasionalisme Arab justru diisi oleh nilai-nilai Islam yang merasuki kehidupan masyarakat. Bahkan Michelle Aflaq, seorang kristen Syiria dan pendiri gerakan Ba’ath, sebuah gerakan nasionalis arab yang antara lain diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Saddam Husein, menyatakan bahwa nasionalisme Arab menganggap Islam sebagai salah satu unsur-unsurnya. Sebaliknya di Indonesia, paling jauh kaum nasionalis berpikir bahwa orang harus berpandangan nasionalistik, namun tetap beragama.

No comments:

Post a Comment