![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEguulaC4CjDq8PfBYrbB09pdZ9NRdBkBfIof48kRlsKqn9J3cwT1RdMbz7pKU29_y8RolDUHuielgO_Z6Ub-OMAIN8ZTv6BWvgsI5XGcwbzklQ1R_v66s97kBKUx1inxvdKd-2FvnCnycA/s320/bintang.jpg)
“ Apa yang akan kita lakukan?”
“Buat apa yah. Setidaknya kita melakukan sesuatu yang menginspirasi”
Ucap Nisa, sedangkan tiga temannya yang lain yaitu Rachel, Dewi dan Ryan mencoba menelaah kata-kata Nisa. Mereka merupakan satu geng pertemanan. Pertemanan mereka dimulai ketika mereka sama-sama mengambil jurusan Akuntasi Komputer di Universitas Gunadarma. Mungkin karena persamaan nasib dan intensif bertemu, mereka menjadi sangat akrab.
Di pelataran aula kampus Gunadarma, mereka membicarakan tugas kemanusiaan mata kuliah Kewarganegaraan. Dosen Kewarganegaraan menyuruh para mahasiswa untuk melakukan suatu kegiatan yang berguna bagi orang lain. Apa saja asalkan mengenai kemanusiaan. Waktu yang diberikan kepada mereka hanya sekitar dua minggu. Otak mereka memilah-milah ide yang terbaik untuk dilaksanakan.
“Bagaimana jika kita membuat sekolah untuk anak-anak pemulung” celetuk Nisa
“Akh, idenya terlalu sulit untuk direalisasikan” sinis Ryan
“Siapa bilang, aku tahu caranya. Di kompleks rumahku terdapat pemukiman pemulung. Kita bisa mengajar anak-anak pemulung di pemukiman itu.” tegas Nisa
“Ide bagus tuh, Nis.” Ujar Dewi
“Setuju semuanya?” ujar Nisa sesambil senyum
“Setuju”
“Ryan, kamu kok diam. Setuju tidak?” tanya Rachel
“Oke, kita coba.” ujar Ryan
“Nah, begitu dong. Kalau semuanya setuju kan kompak” ujar Rachel
Hari Pertama – Ruang Pertemuan
Observasi. Itu hal yang pertama mereka lakukan. Memantau bagaimana keadaan pemukiman pemulung tersebut. Seusai pulang mereka bergegas menuju lokasi itu. Walaupun diluar sana matahari sedang terik-teriknya menyinari bumi mereka tak tergoyahkan untuk melakukan tugas mulia. Mereka bersemangat, tetapi dalam lubuk hati mereka terbesit kekhawatiran proyek ini tidak berjalan lancar.
“Tenang saja. Dalam melakukan kebaikan pasti selalu ada hambatan. Tak usah resah, karena ada Tuhan yang membantu”
Rachel, Dewi dan Ryan tersenyum mendengarkan perkataan Nisa. Nisa memang dianggap sebagai “sesepuh” oleh tiga temannya. Pemikiran Nisa yang rasional dan intelektual membuatnya disegani.
Benar, perkataan Nisa. Hambatan memang selalu ada. Di area parkir kampus gunadarma yang sangat padat dengan kendaraan bermotor, mereka kesulitan untuk mengeluarkan motornya. Tapi, untungnya ada Pak Satpam yang setia membantu. Ya, ketika rintangan menghampiri percayalah Dewi Penolong akan selalu hadir.
Lokasi pemukiman pemulung itu tak terlalu jauh yaitu daerah Pekayon. Sesampainya disana, Nisa, Rachel, Dewi dan Ryan disambut dengan riuh gempita anak-anak yang sedang bermain kelereng. Mengasyikan. Nisa dan kawan-kawan tersenyum melihat ulah anak-anak itu. Rachel mendekati seorang bocah dari sekumpulan anak-anak itu.
“Hallo Adik, sudah sekolah belum?”
Bocah itu sama sekali tak tertarik dengan pertanyaan Rachel. Meskipun bocah itu menjawab pertanyaan Rachel, tetapi tatapan matanya berpaling dari Rachel. Bocah itu terpaku pada kelereng yang dimainkannya.
“Sudah” jawabnya singkat
Mereka kebingungan beradaptasi dengan lingkungan yang baru diinjaknya. Anak-anak itu terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka kewalahan menhadapi kondisi ini. Anak-anak yang bermain dihadapan mereka pun, kini pindah ke ujung jalan. Sepertinya anak-anak itu terusik dengan kehadiran mereka. Semangat yang membara dalam diri Nisa, Rachel, Dewi dan Ryan perlahan mulai menciut.
“Bagaimana ini” ucap Dewi
“Kita bicarakan saja pada orang tua anak-anak itu” ucap Ryan
“Apa iya, orang tuanya setuju dengan rencana kita?” kilah Rachel
“Jangan menyerah sebelum mencoba. Serahkan semuanya padaku” jawab Ryan tenang
Ryan berjalan menuju sebuah rumah amat kecil. Tiga temannya membuntuti dari belakang. Rata-rata rumah di pemukiman pemulung itu, dindingnya terbuat dari berbagai sambungan triplek dan seutai karung, atapnya hanya sebuah asbes sedangkan tanah menjadi alasnya. Ironis. Jika dibandingkan dengan pemukiman sebelahnya. Perumahan Pekayon yang amat megah. Sangat jauh berbeda dengan pemukiman pemulung yang bahkan dibilang layak pun tak layak. Tak Adil. Tapi, inilah hidup terdiri dari si kaya dan si miskin. Si miskin berjuang mati-matian mencari sesuap nasi, sedangkan si kaya dengan mudahnya memilih makanan yang disukai bahkan terkadang membuang makanan tanpa rasa dosa.
“ Tok…Tok…”
Seorang ibu paruh baya berpakaian daster membuka pintu dan menghampiri Ryan, Dewi , Nisa dan Ryan. Dari raut muka ibu itu tergurat kebingungan. Seraya bertanya, “ Ada perlu apa ya ?”
“Hmm… Begini bu, perkenalkan saya Ryan dan ini teman saya Dewi, Rachel dan Nisa.
Maksud kedatangan kami kemari ingin mengajar anak-anak sekitar sini untuk belajar membaca dan menulis. Gratis kok bu, tanpa dipungut biaya.”
“Wah, boleh tuh, dek. Sebentar saya pangilkan dahulu anak-anaknya” kata ibu paruh baya
Mata ibu paruh baya itu berkaca-kaca. Tersirat kesenangan yang luar biasa. Dan tanpa di komando, ibu itu bergegas memanggil anak-anak yang sedang asyik bermain kelereng.
“Hei, Imbot dan semuanya. Ayo, kemari” teriak ibu paruh baya
Seperti magnet anak-anak itu langsung menghampiri ibu paruh baya dengan berbondong-bondong.
“Ini, kakak ini mau mengajar baca tulis. Kalian mau ?” Tanya ibu paruh baya
“Mau… mau”
Lega rasanya, mendengar ucapan anak-anak itu barusan. Sekumpulan anak yang tadinya bersikap acuh tak acuh kini bersikap manis dihadapan mereka. Memang benar ucapan pepatah tak kenal maka tak sayang. Saat Ryan, Nisa, Dewi dan Rachel memperkenalkan diri mereka, anak-anak itu sangat ramah dan bersikap antusias untuk belajar. Tapi sayang, hari ini mereka memutuskan belum memulai aksi mereka. Esok seusai pulang kuliah, mereka akan memulai hari pertama mengajar anak-anak pemulung itu.
“Disini masih banyak yang belum sekolah. Ada juga sih yang sekolah, tapi itu juga gratis” ujar ibu paruh baya
Memilukan. Di era globalisasi, masih ada putra-putri bangsa yang terpinggirkan untuk
mengenyam manisnya bangku sekolah.
Sambil mengobati hati pilu mereka dan menghibur anak-anak pemulung itu. Mereka melakukan foto bersama berlatar rumah amat sederhana sekaligus mengakhiri kunjungan observasi mereka untuk hari ini.
Hari Kedua – Awal Pembelajaran
Peralatan sekolah seperti buku, pensil, penghapus dan sebagainya telah Ryan, Nisa, Dewi, Rachel siapkan untuk mempelancar visi mereka. Putaran waktu seperti lambat berjalan saat mereka mengikuti mata kuliah Bahasa Inggris. Suasana kelas yang kondusif untuk belajar pun tak membuat mereka dapat berkonsentrasi penuh. Angan mereka tengah singgah di sebuah pemukiman pemulung. Mereka tak sabar menunggu moment pertama sebagai para pengajar anak-anak pemulung. Dewa Waktu seperti mengerti hati mereka, dipercepatlah detik waktu . Dan, waktu yang dinanti pun tiba.
Ajaib. Anak-anak pemulung itu sudah datang sebelum mereka tiba di tempat itu. Terdengar suara kegaduhan anak-anak itu bernyanyi. Semangat mereka tumbuh dua kali lipat bersinergi. Menilik tingkah anak-anak itu yang sangat antusias membuat mereka sunguh-sunguh mengerjakan proyek kemanusiaan ini dengan hati keikhlasan. Nama proyek kemanusiaan mereka adalah “Sekolah Bintang.”
Mereka mengajar disebuah mushola kecil di pemukiman pemulung tersebut. Pengelolah mushola mengizinkan mereka, memakai mushola ini untuk sarana belajar. Tuh kan, setiap melakukan kebaikan pasti dibukakan jalan.
Pertemuan pertama dalam proses belajar diawali dengan perkenalan anak-anak itu dengan menyebutkan apa cita-citanya. Anak-anak itu berkisar 15 orang. Lumayan banyak dari perkiran. Anak-anak itu maju ke depan satu persatu dengan wajah tersipu malu, sama halnya dengan Nisa dan kawan-kawan. Pipi mereka merona karena ibu dari anak-anak itu hadir menemani anaknya belajar. Ibu anak-anak itu juga tidak kalah antusias mendukung anaknya belajar bersama Nisa dan kawan-kawan.
Banyak hal yang dapat dipetik dari kejadian hari ini. Diantaranya ketika mereka mengajarkan alphabet, anak-anak itu masih ada yang belum mengenal huruf bahkan beberapa anak ada yang belum dapat memegang pensil dengan baik. Padahal, pemerintah mengkampayekan program Indonesia bebas buta huruf. Tetapi, tak bisa dipungkiri masih banyak warga Indonesia yang “tercangkit” buta huruf.
Namun, semangat anak-anak pemulung ini patut dicontoh bagi anak Indonesia yang lainnya. Bagi anak-anak Indonesia yang lebih beruntung mendapatkan kesempatan menuntut ilmu, harus mempunyai semangat belajar yang tinggi dan bukan menganggap pendidikan merupakan sesuatu yang sepele.
Hari Keempat – Tak Mudah Menjadi…
Nisa, Dewi, Rachel dan Ryan mulai kerepotan mengurusi anak-anak itu. Bukan karena anak-anak itu malas, tetapi sangking aktifnya anak-anak itu bertanya kepada mereka.
Mereka bertanya seperti mesin senapan yang tiada henti-hentinya mengeluarkan peluru dari ujung mulutnya. Agak kewalahan menjawab pertanyaan anak-anak itu.
Namun, proyek kemanusiaan yang dilakukan oleh mereka merupakan pengalaman yang sangat berharga. Ketika pelajaran hidup didapati dan menggiring mereka pada suatu titik. Pengertian.
Menjadi seorang pengajar ternyata tak mudah. Sebelum hari ini, mereka selalu mengeluh ketika mendapatkan pengajar yang tidak sesuai dengan keinginan hati. Sebenarnya, para pengajar selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk para muridnya. Meskipun, sering disalahmengerti oleh para murid.
Mulai dari sini, mereka mengerti. Batapa besarnya jasa seorang pengajar. Mereka berjanji untuk belajar tak menyalahkan dosen ketika tak mengerti suatu pelajaran. Bagaimana pun pengajar telah berusaha memberikan ilmu yang dimilikinya. Menjadi seorang pengajar adalah suatu pekerjaan mulia. Para pengajar seumpama cahaya ditengah kegelalapan yang menerangi benda-benda disekelilingnya.
Hari kedelapan – Pilu
“Imbot, kenapa buku kamu? Basah lepek seperti ini.”
“Iya kak, kemarin malam hujan. Rumah aku bocor, bukunya jadinya kebasahan. Maaf ya, kak”
Rachel terpaku mendengar ucapan bocah bernama Imbot. Ia tak tega dengan apa yang terjadi dengan Imbot. Seketika Rachel berfikir, apa sejahat itu takdir kepada anak tak berdosa seperti Imbot. Kenapa semesta tak menjaga Imbot malam itu, setidaknya buku belajar yang dimilikinya. Membiarkan tulisan itu luntur tak berbekas. Muka
Imbot memelas, kesedihan jelas terpancar dari mimik wajahnya. Tulisan yang dia ukir di buku itu dengan tangan kirinya tinggal kenangan.
Apa ini yang namanya hidup. Pilu. Melihat kenyataan begitu pahit. Sementara para belingsatan tertawa bebas diatas penderitaan makhluk kecil. Mengapa Imbot dan kawan-kawannya tidak diberi kesempatan untuk mencicipi dunia lebih baik. Sedangkan manusia yang tak pantas disebut manusia malah rakus pada kehidupan.
Mungkin ini yang disebut takdir Tuhan. Terkadang, Tuhan memberikan sesuatu yang dianggap buruk oleh manusia tetapi Tuhan tahu mana yang terbaik untuk kemashalatan umatNya. Kaya atau miskin toh mempunyai derajat yang sama dimata Tuhan.
“Iya, tak apa. Ini buku barumu” ucap Rachel
Hari Kesepuluh – Sebuah Perbincangan
Ditengah guyuran hujan membasahi bumi, biasanya benda hidup menghentikan aktifitas sejenak untuk menikmati dentingan hujan. Di sebuah beranda mushola, dua benda hidup yaitu Ryan dan Hendri memperbincangkan sesuatu.
“Yah, Barcelona kalah.” ucap Ryan
“Padahal Messi sudah bagus mainnya.” ucap Hendri
“Tenang, Barcelona pasti bangkit. Hendri, kamu ingin jadi apa jika sudah besar?”tanya Ryan
“Jadi, pemain bola terkenal seperti Ronaldo.”jawab Hendri
Ryan tersenyum mendengar jawaban Hendri. Bukan meremehkan, justru Ryan bangga bocah sekecil itu sudah memiliki cita-cita tinggi. Mata Hendri tegas mengucapkan bahwa dia ingin menjadi seorang pesepakbola. Mata adalah jendela hati. Itu pertanda hati Hendri mencerminkan kesungguhan. Walaupun hidup dalam keterbatasan tetapi pikiran Hendri tak berbatas ruang.
Ryan membatin dalam hati agar bocah dihadapannya menjadi seorang pesepakbola yang diinginkannya. Seraya berdoa dan melempar harapan ke langit. Semoga hujan meluruhkan impian bocah kecil itu kelak. Semesta mengamini.
Hari Kedua Belas – Problematika dan Realita Hidup
Sudah memasuki hari-hari terakhir proyek kemanusiaan ini. Mereka melonggarkan jam belajar yang diberikan. Setelah satu jam memberikan pelajaran rutin kepada anak-anak itu, Ryan berinisiatif mengajak anak-anak itu bermain sepakbola. Di sebuah tanah lapang, anak-anak pemulung yang kebanyakan laki-laki bersemangat bermain sepakbola dengan mengenakan sandal, sedangkan anak perempuan bersorak dipinggir lapangan. Anak-anak itu bermain bola sambil tertawa lepas.
Nisa, Dewi dan Rachel mengamati dari kejauhan. Tiga perempuan itu juga tertawa lepas hingga hadir sebuah pengertian tentang hidup.
“Aku salut dengan orangtua anak-anak itu. Mereka tak mengizinkan anak-anaknya memulung.” ucap Dewi
“Yah, memang seperti itu harusnya. Anak-anak mereka biarkan bersekolah dan bermain layaknya anak yang lain. Walaupun hanya sebagian saja yang bersekolah.” pikir Nisa
“Aku rasa ini perubahan pola pikir. Orang tua anak-anak itu tak ingin anaknya senasib dengan mereka.” ujar Rachel tegas.
Orang tua dari anak-anak itu melihat problematika hidup yang dialaminya tak ingin dirasakan oleh anak mereka. Bagaimana pun juga anak itu anugerah dan titipan dari Tuhan yang nanti akan dipertanggungjawabkan. Mereka mendidik anak-anak mereka menjadi seorang anak yang tak menyerah pada nasib. Nasib bisa dirubah, siapa tahu kelak buah kerja keras mereka menyekolahkan anaknya membuahkan hasil manis. Realitas yang ada sekarang ini tak kekal abadi.
“Problematika akan selalu ada dalam hidup. Tetapi, realita hidup dapat diubah tergantung bagaimana cara kita memandang hidup” ujar Rachel
Hari Keempat Belas – Koma
Hari terakhir Nisa, Rachel, Ryan, dan Dewi menjalankan proyek kemanusiaan mereka. Proyek mereka memang telah usai. Tetapi kemarin malam di rumah Dewi, mereka memutuskan proyek ini berlanjut. Mereka ingin terus mengajar anak-anak pemulung itu.
Hati mereka terlanjur menyukai anak-anak itu. Mereka ingin berbuat sesuatu yang berguna bagi orang lain. Setidaknya untuk anak-anak pemulung itu hingga lancar membaca.
Mereka seolah-olah bintang dan anak-anak itu adalah hamparan langit yang siap menampung bintang-bintang yang hendak menyinari bumi. Senyum anak-anak itu adalah senyum mereka. Mereka ingin melihat salah satu dari mereka berhasil, menjadi seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang menghapuskan penindasan dan ketidakadilan dengan senyuman. Senapan dibuat membeku. Hingga tak ada lagi peperangan yang menimbulkan kegetiran hidup. Hanya tercipta kedamaian di dunia ini. Kedamaian dan ketentraman hati melihat anak-anak kecil tertawa dan menari bahagia. Dan, semua orang berkata hidup ini indah.
No comments:
Post a Comment