Monday, October 24, 2016

Berkunjung ke Istana Kasepuhan, Cirebon

Bepergian ke Cirebon, tak lengkap rasanya jika tidak berkunjung Keraton Kasepuhan. Keraton Kasepuhan dapat dibilang masih sangat terawat keberadannya.

Ketika datang ke Keraton Kasepuhan, para guide siap menemani para wisatawan untuk berkeliling ke seluruh area keraton.

Tepatnya pada Agustus 2015 silam, saya berkunjung ke Keraton Kasapuhan Cirebon. Di dalam keraton ini, terdapat banyak benda-benda pustaka yang bernilai sejarah tinggi.

Dua buah patung macan putih sebagai lambang keluarga besar Pajajaran pun berdiri kokoh di halaman utama Keraton Kasupuhan.

Dan, di dalam Keraton ini juga terdapat beberapa lukisan dan kereta singa Barong yang merupakan kereta kencana Sunan Gunung Jati.

Kesan saya pada saat berkunjung ke tempat ini adalah, areanya yang luas dan arsitektur yang menarik. Makanya banyak wisatawan yang berfoto-foto di sudut-sudut area keraton.

Saat saya berkunjung ke sana, ramai dengan para wisatawan yang berkunjung. Seperti yang saya bilang, kalau ke Cirebon, ya wajib mampir ke Keraton Kasepuhan.

Wednesday, October 19, 2016

Gunung Pancar, Si Instagramable

Gunung Pancar ini lagi hits banget di instagram atau biasa disebut dengan instagramable. Buat saya yang suka banget sama alam, Gunung Pancar ini menjadi alternatif  untuk mengobati kerinduan akan alam. Walaupun memang nggak perlu perjuangan untuk sampai ke tempat ini. Mobil pun bisa langsung parkir di area Gunung Pancar. Walaupun tiket masuknya lumayan mahal menurut saya.


Lokasi Gunung Pancar berada di Sentul, Kabupaten Bogor. Dekat juga dengan The Jungle.


Saya tidak terlalu lama berada di sini, karena keburu gerimis. Saran saya sih kalau ke sini kalau nggak musim hujan ya, jadi kalian bisa piknik di sini. Udara di sini sejuk banget karena memang banyak ditumbuhi pohon-pohon pinus. Selain itu Anda juga bisa berendam di pemandian air panas. Awal rencana saya juga ingin piknik di sini, karena udah niat bawa makanan dan matras, tapi apa boleh buat cuaca kurang mendukung kala itu.



Setahu saya juga dibuka camping ground di sini, jadi Anda juga bisa ngecamp di sini. Selain itu, Gunung Pancar juga suka dijadikan tempat foto pre wedding lho. 

Kalau teman saya yang berdomisili di daerah Sentul, mereka suka sepedahan di Gunung Pancar. Dan betul sekali, ketika saya ke sana banyak juga orang yang gowes ke sana.

Tapi minusnya tempat ini, karena banyak dikunjungi orang, kebersihannya jadi kurang terjaga. Banyak sampah yang berserakan. Sedih ya, padahal kalau kita berkunjung ke wisata alam sudah seharusnya menjaga lingkungannya. Kalaupun bawa makan dan tidak ada tempat sampah, lebih baik sampahnya disimpan di tas sampai nanti ketemu tempat sampah untuk dibuang. Dan, satu lagi minusnya adalah terlalu banyak bayar parkir. Saya sampai dua kali bayar parkir, katanya beda lahan.

Semoga Gunung Pancar tetap terjaga kelestariannya. Dan, saya berharap semoga para pengunjung pun bisa turut menjaga kelestarian dan kebersihan tempat ini. 


Kiluan, Negeri Lumba-lumba


Saya selalu excited ketika mendengar nama Kiluan. Dari awal hobi traveling, Kiluan memang menjadi salah satu tujuan utama saya. Namun sayang, beberapa kali merencanakan namun tidak pernah terlaksana. Baru sekitar Agustus 2015, saya berhasil menginjakan kaki di Teluk Kiluan.
Saya penasaran banget dengan Teluk Kiluan. Banyak yang bilang Teluk Kiluan memiliki pesona bawah laut yang indah. Dan, pengalaman paling seru adalah melihat lumba-lumba di laut lepas. Wah, menarik sekali kan.

Untuk sampai ke Teluk Kiluan dari Pelabuhan Bakauheni memakan waktu yang cukup lama. Kurang lebih sekitar 4-6 jam, itu termasuk waktu istirahat di jalan ya.

Setibanya di Teluk Kiluan, kami langsung ke cottage. Cottagenya bagus sekali, terbuat dari rotan bambu dan dibawahnya adalah air laut. Cottage ini pun sangat nyaman, dan kami pun bisa berfoto ria di sini, sambil menyaksikan matahari terbenam.

Selain snorkling, aktivitas lain yang paling saya tunggu adalah hunting lumba-lumba. Kami berangkat pukul 5 pagi, dengan menaiki jukung (perahu kecil). Isi jukung hanya empat orang saja.
Dengan udara pagi yang masih dingin dan deru ombak kami pun berlayar ke laut lepas. Ada perasaan waswas karena perahu yang kami tumpangi memang kecil sekali, saya jadi teringat film Life of Pie kala itu. Namun saya harus lawan rasa takut saya demi melihat lumba-lumba.

Lama sekali perjalanan kami ke tengah laut, belum ada juga lumba-lumba yang nampak. Setelah agak lama menunggu lumbu-lumba pun beriringan di sebelah perahu kami. Sangking senengnya saya langsung histeris teriak, “Itu lumba-lumbanya”.

Maklum, inilah pertama kalinya saya melihat lumba-lumba di laut lepas secara langsung. Biasanya kan hanya di tempat pertunjukan sirkus saja . Tapi ini, saya benar-benar melihat mereka ‘menari’ di habitat asli mereka.


Pengalaman ini akan terus saya kenang. Karena nggak semua orang bisa melihat secara langsung di Teluk Kiluan. Teman-teman saya bercerita, waktu ke Kiluan dia tidak bisa menjumpai lumba-lumba. Beruntungnya saya.

Situ Patenggang dan Mitos Batu Cinta

Buat saya liburan Situ Patenggang merupakan liburan yang tidak direncanakan dan hanya menemani mama yang sedang perpisahan pengajiannya. Ya mumpung saat itu libur dan nggak ada kerjaan juga makanya pergi liburan ke sana.

Situ Patenggang terletak di Ciwidey, Bandung Selatan. Untuk menuju tempat ini, pengunjung akan disuguhi terasering kebun teh yang menakjubkan.

Suhu di kawasan Situ Patenggang lumayan dingin, karena letaknya yang berada di 1600 meter di atas permukaan laut. Di objek wisata ini, selain melihat danau, kalian juga bisa menyebrangi danau tersebut ke tempat batu cinta.

Ya, Situ Patenggang sangat terkenal dengan Batu Cinta. Konon, Batu Cinta merupakan tempat pertemuan antara Putra Prabu dan Putri  titisan bernama  Dewi  Rengganis yang saling mencintai.  Dan sang Dewi Rengganis pun minta dibuatkan danau.

Terdapat mitos pula di tempat ini, bagi pasangan yang sempat singgah di Batu Cinta ini, dipercaya bahwa cinta mereka akan abadi. Hmm, bener nggak ya?

Yang pasti, tempat ini sejuk banget. Ditambah dengan nuansa alam yang indah membuat saya lumayan betah di tempat ini. Anda juga bisa berburu oleh-oleh khas Bandung di sini. Banyak juga lho menjual buah strawberry di tempat ini.


Tak jauh dari Situ Patenggang, ada pula obyek wisata Kawah Putih, jadi bisa sekalian mampir. 

Anak Gunung Krakatau, Pesona Gunung dan Bahari

Perjalanan saya ke Anak Gunung Krakatau pada Mei 2015 silam, mengakhiri masa hiatus traveling saya. Bersama sahabat saya, Cory Cecilia, untuk pertama kalinya saya menyebrang ke Lampung. Naik  kapal Ferry ini untung-untungan, kadang dapat kapal yang bagus tapi adapula kapal yang jelek dan menurut saya kurang layak untuk ditumpangi.

Pelabuhan Merak – Pelabuhan Bakauheni

Kami nyebrang pukul 01.00WIB dari Pelabuhan Merak  ke Pelabuhan Bakauheni. Waktu tempuh dari Merak Bakauheni sekitar 3 jam. Nasib kurang beruntung dialami saya dan teman-teman saya karena harus menaiki kapal ferry yang kurang layak. Penumpang saat itu penuh sesak, dan kami pun tidak dapat tempat duduk. Alhasil, kami pun akhirnya duduk di musholla. Karena di dalam kabin penumpang sudah sangat penuh.
Sesampainya di pelabuhan Bakauheni sekitar pukul 4 dini hari. Karena saya pergi dengan konsep backpacker, untuk menuju Dermaga Canti di Lampung Selatan, saya dan teman-teman saya mencharter angkot. Perjalanan dari Pelabuhan Bakauheni ke Dermaga Canti sekitar 2 jam.

Dermaga Canti
Sampainya di DermagaCanti saya langsung sarapan sambil kenalan dengan teman-teman satu rombongan.
Dari pelabuhan canti ini, nantinya saya dan teman-teman kan pergi ke pulau sebuku kecil untuk snorkling dan pulau sebesi untuk menginap di sana.

Snorkling dan Mendaki Anak Gunung Krakatau

Pesona bawah laut di pulau-pulau sekitar Gunung Krakatau cukup bagus. Namun sayang, saya tidak terlalu banyak snorkling karena alat snorkling yang bocor dan ombak yang cukup besar. Tetapi satu hal yang saya kagumi bahwa pulau-pulau di Lampung bagus sekali. Pasir yang putih sangat memanjakan mata para wisatawan.
Pengalaman yang berkesan ketika hiking ke Anak Gunung Krakatau. Saya dan teman-teman harus berangkat jam 3 pagi untuk menyebrangi lautan untuk menuju lokasi  Anak Gunung Krakatau. Perjalanan yang ditempuh mungkin sekitar 2 jam.
Saya sarankan bagi Anda yang ingin menanjak Anak Gunung Krakatau harus memakai sepatu gunung, karena teksturnya berpasir. Walaupun  tingginya hanya 230 meter diatas permukaan laut, pendakian cukup sulit karena Anda baru melangkah lima langkah tapi harus turun tiga langkah karena landasan yang  berpasir.
Ketika sampai di atas Anak Gunung Krakatau, saya pun bisa melihat hamparan laut yang luas dan pulau-pulau kecil. Matahari pun terbit di antara pulau-pulau kecil tersebut, menambah keindahan alam di Anak Gunung Krakatau.
Sekilas mengenai sejarah Anak Gunung Krakatau, Anak Gunung Krakatau ini terbentuk pada tahun 1927 atau sekitar 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau.  Saat ini, Anak  Gunung Krakatau merupakan gunung aktif.

Meskipun masih tergolong gunung yang aktif,  pontensi wisata di kawasan Anak Gunung Krakatau sangatlah besar. Bukan hanya pengunjung lokal saja, tetapi banyak pula turis asing yang penasaran akan keindahan Anak Gunung Krakatau. 

Sunday, October 16, 2016

Islam, Nasionalis dan Orang Arab


 Nemu artikel bagus. Silakan dibaca sebagai bahan renungan.


Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Peter Mansfield, dalam bukunya History of the Middle East, menyatakan bahwa Islam memang sejak kelahirannya tidak mengemukakan konsep tentang sebuah negara. Namun, seluruh bangunan hukum, tradisi dan ajaran-ajaran Islam bertumpu pada kekuasaan negara untuk mengatur kehidupan individu menurut garis-garis yang jelas. Mereka harus kawin berdasarkan aturan-aturan tertentu, membagi waris juga menurut aturan-aturan tertentu. Mereka harus taat pada pimpinan, seluruhnya merupakan acuan kenegaraan. Tidak heranlah, jika kaum muslimin banyak yang berpendapat, bahwa Negara Islam itu harus didirikan oleh mereka.


Pendapat ini ingin memberlakukan sebuah institusi tertentu dan mempertahankannya, seperti para pengikut gerakan yang ingin mempertahankan wangsa/ kerajaan ‘Utsmaniyyah (Ottoman Empire), seperti Shakib Arslan. Ia adalah seorang pemimpin suku Druz di Lebanon pada permulaan abad yang yang lalu, yang menjadi anggota parlemen wangsa tersebut. Dalam disertasi yang ditulis William L. Cleveland, ia tidak bisa dianggap menjadi pengikut anggota gerakan Nasionalisme Arab. Menurut buku Mansfield, Jamaluddin al-Afghani, Moh. Rasyid Ridha dan Abdurrahman al-Kawakibi, keharusan mendirikan Negara Islam memang ada, tetapi tidak oleh dinasti tersebut di atas. M. Rasyid Ridha dan al-Kawakibi umpamanya, menganggap Negara Islam itu haruslah didirikan dan dipimpin oleh orang Arab. Padahal dinasti Ottoman adalah bangsa Turki, karenanya tidak layak dan tidak sah khalifah (yang harus menjadi pemimpin) sebuah Negara Islam, dipegang oleh wangsa tersebut.


Sementara Mohammad Abduh dan sebagainya, tidak pernah mementingkan adanya Negara Islam, karena mereka tidak beranggapan bahwa ajaran Islam terkait dengan sebuah konsep kenegaraan. Mereka sudah puas, jika kaum muslimin melaksanakan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, pandangan Abduh itu sebenarnya sama dengan pendapat gerakan-gerakan Islam seperti NU, PSII/SI dan Muhammadiyah.


Dalam dua kutub yang bertentangan itu, berbagai macam pandangan yang mengajukan claim mewakili Islam berkembang dengan subur selama satu setengah abad terakhir ini. Diantaranya, adalah pandangan Imam Ruhollah Khomeini, yang mengajukan konsep Wilayat-i-faqih (pemerintahan para ahli hukum agama). Dalam tata negara Iran sekarang, kaum ulama diwakili oleh Khubrigan (Dewan Pakar) yang berjumlah delapan puluh orang, dan memiliki kekuasaan membatalkan keputusan Presiden maupun parlemen (Majelis), jika dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Dewasa ini, terjadi pertentangan yang tajam, karena Khubrigan melarang ratusan orang untuk turut serta menjadi caleg (calon legislative) dalam pemilu yang akan datang. Ini dianggap oleh banyak kalangan, termasuk mahasiswa sebagai pelanggaran konstitusi, karena melampaui wewenang pembatalan/ anulasi tersebut di atas. Sangatlah menarik untuk mengikuti perkembangan yang terjadi di Iran itu, karena bagaimanapun juga akan menyangkut perkembangan Islam di seluruh dunia.


Di Indonesia, keadaannya sedikit berbeda dari pada di negeri-negeri Arab. Memang pandangan berbagai pihak tentang harus ada sebuah Negara Islam, boleh dikata menjadi pandangan mereka yang menganggap diri sebagai “golongan Islam”, namun pendapat berbeda justru datang dari kelompok yang dianggap “golongan nasionalis”. Jika “golongan nasionalis” di Indonesia tersebut telah melalui “politisasi” makna, hingga merasa tidak layak disebut “golongan Islam”, maka di kawasan Timur Tengah bahkan sebaliknya. “Golongan Nasionalis” menganggap nasionalisme Arab justru diisi oleh nilai-nilai Islam yang merasuki kehidupan masyarakat. Bahkan Michelle Aflaq, seorang kristen Syiria dan pendiri gerakan Ba’ath, sebuah gerakan nasionalis arab yang antara lain diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Saddam Husein, menyatakan bahwa nasionalisme Arab menganggap Islam sebagai salah satu unsur-unsurnya. Sebaliknya di Indonesia, paling jauh kaum nasionalis berpikir bahwa orang harus berpandangan nasionalistik, namun tetap beragama.

Crack Chicken BBQ



Bahan:
- Dada Ayam Filet
- Tepung terigu
- Tepung roti
- Lada
- Garam
- Gula
- 1 buah telur
- Saos BBQ
- Cah bawang putih

Cara masak:

1. Olah ayam terlebih dahulu. Lumurin ayam dengan lada dan garam. Lalu diamkan 15-30 menit.
2. Setelah bumbu pada ayam meresap, lumurin ayam satu persatu dengan tepung terigu, lalu tiriskan. Masukkan ayam ke dalam telur, tiriskan. Lalu, masukan ayam ke dalam tepung roti. Turiskan
3. Setelah semua potongan ayam sudah dilumuri tepung roti, diamkan di dalam freezer selama beberapa jam agar tepung roti merekat.
4. Setelah itu, goreng ayam yg sudah dilumuri tepung roti hingga kekuningan. Tiriskan.
5. Masak saos BBQ hingga mendidih lalu masukkan gula dan bawang putih yang sudah dicah
6. Tuang saos BBQ yang sudah dimasak pada ayam yg sudah digoreng. Siap santap

Merah Putih di Perbatasan




“Kita harus buat sesuatu di 17 Agustus nanti?” ucap Bima

Ketiga temannya melongo mendengar ucapan Bima. Aneh! Tidak biasa-biasanya Bima sok bersikap nasionalis seperti itu. Memang yang diucapkan Bima bukan hanya persoalan perayaan 17 Agustus saja. Tapi lebih daripada itu. Mereka menamai diri mereka dengan sebutan Pendekar Cilik. Pendekar Cilik yang terdiri dari Bima, Ayu, Nunu dan Parman. Mereka memang spesial karena mereka tinggal di daerah perbatasan. Mereka tidak pernah melihat di desanya ketika 17 Agustus tiba ada perayaan seperti di daerah lainnya. 17 Agustus di desanya bagaikan hari biasa saja.

“Makanya kita harus melakukan sesuatu nih?” ucap Bima sekali lagi
“Iya tapi apa Bim?” keluh Ayu
“Kita bikin upacara Bendera aja, ajak orang sekampung.”
“Emang pada mau? Bendera aja kita nggak punya” selak Nunu

Nyatanya, memang jarang sekali warga disini yang punya bendera. Mereka pun terdiam. Memikirkan beberapa ide yang kiranya pas untuk dijalankan pada saat 17 Agustus nanti. Mereka harus mencari cara terbaik untuk mendapatkan sebuah bendera merah putih.

“Oke..tenang teman-teman. Misi kita sekarang adalah membuat bendera. Caranya adalah kita harus mengumpulkan uang untuk membeli kain untuk dijahit menjadi bendera merah putih. Karena jahit lebih murah daripada membeli bendera. Nah masalah jahit, tenang aja ada emak ku yang siap membantu. Bagaimana?” ucap Bima membara

“Horeee!! Setuju”


Dua minggu berselang, para Pendekar Cilik berkumpul lagi dengan membawa uang yang mereka sisihkan untuk membeli beberapa meter kain untuk dijadikan bendera. Mereka mengumpulkannya ke dalam sebuah kaleng bening. Memandanginya dengan seksama.

“Apa iya, uang kita cukup Bim?”
“Aku rasa sih cukup. Besok pagi-pagi sekali kita ke kota untuk membeli kain.”

Mereka saling bartatapan. Tatapan penuh makna dan semangat yang membara. Besok Pendekar Cilik akan menjalankan misi kenegaraan. Mereka tak sabar menunggu pagi itu tiba.

Sebelum matahari mucul di permukaan, para Pendekar Cilik sudah menembus dinginnya pagi. Mereka berjalan ke arah jalanan desa. Menunggu omprengan yang menuju ke pasar kota. Dingin yang menusuk tidak menjadi penghalang bagi anak-anak ini untuk menjalani misi mereka. Membeli kain untuk dijadikan sebuah bendera.

Sesampainya disana, mereka benar-benar bingung karena tak satupun toko kain yang mereka jumpai. Kaki mereka letih untuk mencari namun semangat di hati mereka tak pernah padam. Menunggu keajaiban.

“Harusnya kita tidak perlu nekat sejauh ini”
“Kalau tidak nekat bukan pendekar cilik namanya. Lagipula selalu ada keajaiban bagi Pendekar Cilik.”
“Huh!”

Mereka terus mengamati sekeliling. Siapa tahu ada memang benar-benar ada keajaiban seperti cerita di dongeng-dongeng. Tapi nihil, di depan mereka justru hanya ada seorang nenek tua yang sedang kerepotan memegang belanjaannya dan berjalan tertatih-tatih.

“Teman-teman, kita ada misi lain nih” kata Bima dengan semangat

Mereka langsung dengan sigap membantu dan mengantarkan nenek tersebut ke rumahnya, yang jaraknya tidak jauh dari pasar. Dengan antusias, mereka bercerita kepada nenek tersebut bahwa mereka berasal dari desa perbatasan ke kota hanya untuk mencari toko kain untuk membeli kain yang nantinya akan dijadikan sebuah bendera merah putih untuk upacara di desa . Namun naas disini tidak ada toko kain.

Dengan tersenyum nenek itu berucap, “perbuatan kalian mulia sekali, sebentar ya.” Nenek itu pun masuk ke sebuah ruangan lalu membawa sebuah kain. Bendera merah putih.
“Ini untuk kalian. Hadiah dari nenek karena kalian sudah membantu nenek.”

Dengan mata yang berbinar-binar mereka menerima bendera yang diberikan nenek. Memang selalu ada keajaiban bagi Pendekar Cilik. Kini, misi mereka hari ini tidak sia-sia.

Misi mereka berhasil. Mereka pulang dengan kemenangan dan semangat yang membara untuk secepatnya merayakan 17 Agustus untuk pertama kalinya dalam hidup mereka. Walaupun tinggal di perbatasan, tetapi hati dan cinta mereka untuk Indonesia tak kenal batas.
Untuk pertama kalinya, bendera merah putih berkibar di desa mereka. Bukan hanya 17 Agustus saja bendera merah putih berkibar. Tapi akan berkibar membentang hingga tak kenal lelah.

Perantara Tuhan



Cerpen ini saya dedikasikan untuk para bidan dan ibu di seluruh dunia. Terima kasih atas perjuangannya untuk melahirkan seorang anak manusia ke muka bumi. Selamat hari ibu, I love you, Ibu :)


“Ruminah, cepat kemari”

Baru saja, aku ingin memejamkan mata, suara emak teriak memanggilku. Kutemukan diriku dalam kelelahan dalam cermin sebelum aku menghampiri emak. Aku memang kurang tidur dalam beberapa hari ini. Tapi, kupaksa kakiku untuk segera melangkah keluar dari kamar tidurku.

“Ada apa, mak ?”
“Cepat ke dusun sebrang. Anaknya Nyai Darsih, akan segera melahirkan.”

Aku menghela napas. Emak terlihat sangat panik. Maklum saja, Nyai Darsih adalah teman dekat emak. Aku segera kembali ke kamar tidurku, meninggalkan emak dengan kepanikannya. Seperti virus, kepanikan yang emak rasakan kini tertular padaku. Aku mempersiapkan peralatan medisku yang kiranya diperlukan dalam proses persalinan nanti. Ditengah keburu-buruanku, mataku masih sempat melihat jam di dinding, arah jam menunjukan pukul dua dini hari. Lewat tengah malam. Aku memang sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini.

Aku keluar kamar. Kulihat emak mondar mandir tak karuan. Aku memanggilnya, bermaksud meminta doa restu kepadanya. Pancaran matanya emak kini terlihat terbelah. Aku tahu konsentrasi emak bukan hanya memikirkan tentang persalinan anak gadisnya Nyai Darsih, tapi juga aku – anak gadisnya. Sepertinya emak khawatir atas keselamatanku. Agak berat bagi emak, melepaskan anak gadisnya pada jam yang tak lazim seperti ini. Sendiri pula. Tapi, aku menghiburnya dengan mengatakan padanya bahwa aku akan sampai ke Nyai Darsih dengan selamat dan akan baru pulang subuh nanti. Emak mengangguk.

“Assalamualaikum”

Kuucapkan salam tanda aku melangkah pergi meninggalkan rumah. Aku mengayuh sepeda kumbangku. Selama aku menjalani profesi sebagai seorang bidan, sepeda kumbang inilah yang selalu menemaniku setiap kali melakukan perjalanan medis ke rumah-rumah warga yang membutuhkan kesehatan. Entah berapa kilometer jarak yang sudah kutempuh dengan sepeda kumbang ini. Untuk saat ini, sepeda kumbang ini adalah harta yang tiada taranya bagiku.

Dalam perjalananku menuju rumah Nyai Darsih, aku hanya ditemani oleh suara jangkrik, gemuruh angin. Sunyi. Penerangan lampu disini juga tidak memadai. Aku perlu berhati-hati, karena bisa saja aku terjatuh karena tak sengaja melintasi bebatuan besar. Aku mengayuh sepedaku dengan pasti. Memang perlu waktu lama untuk sampai di dusun dimana Nyai Darsih tinggal. Setidaknya aku harus melewati tiga dusun terlebih dahulu, hingga nanti aku melintasi sebuah jembatan kayu sebagai pertanda penghubung antara dusunku dengan dusun Nyai Darsih.

Tapi, ditengah-tengah menempuh perjalanan aku seperti dihadapakan dengan sebuah kejadian masa lalu. Kejadian ketika aku baru memulai menggeluti profesi sebagai seorang bidan. Sebelum aku dipercaya seperti sekarang, aku terlebih dahulu menghadapi kesulitan. Mungkin itu adalah masa-masa tersuram dalam hidupku.

Delapan tahun lalu, saat aku baru saja lulus dari Akademi Kebidanan, aku luar biasa girang. Karena menjadi seorang bidan adalah cita-citaku dari kecil. Selang sehari kelulusanku, aku berkeliling ke rumah tetangga, mengabari mereka bahwa mereka bisa menggunakan jasaku dalam proses persalinan dengan biaya sukarela. Tapi, enggan bagi mereka. Orang-orang di dusunku lebih percaya pada dukun. Namanya, Mbah Sujah. Dia adalah dukun yang paling mahir di dusunku. Sangking mahirnya beliau, setiap meminta jasanya untuk menyembuhkan penyakit atau membantu persalinan, harus mengantri terlebih dahulu. Mbah Sujah pula yang membantu emak pada masa persalinan diriku. Ya, Mbah Sujah memang dieluh-eluhkan oleh orang-orang di dusun sebagai seorang dewa.

Semasa kecil, aku sudah kritis terhadap orang-orang didusun ini. Kenapa di zaman yang sudah amat modern ini, segala teknologi dan ilmu kesehatan sudah sangat maju, orang-orang seperti itu masih saja percaya terhadap hal-hal seperti itu. Bahkan, ada diantara mereka yang menyembah pohon-pohon kramat untuk meminta kesehatan. Bukannya hal itu termasuk menyekutukan Tuhan. Entahlah.

Aku sadar, bahwa orang-orang di dusun tak mudah percaya dengan aku begitu saja. Bidan yang masih bau kencur, kata mereka. Tapi, aku berusaha sekuat tenaga. Tapi, semakin aku berusaha sekuat tenaga, usahaku terlihat sia-sia. Karena pikiran mereka terkikis oleh sebuah kepercayaan yang mendalam, bahwa seorang wanita ingin melahirkan satu-satunya tempat yang harus dikunjungi adalah dukun. Aku menyerah.

Akhirnya, aku berkerja sebagai bidan di kota. Berat bagiku, karena harus meninggalkan emak yang sudah sakit-sakitan. Lemah tak berdaya. Tapi pikirku, ini hanya sementara. Aku akan kembali kesini dan melayani para wanita di dusun ini yang ingin melahirkan. Karena memang itu tujuanku menjadi bidan. Aku ingin dusunku tersentuh dengan sesuatu yang berbau medis, bukan hal yang berbau magis.

Benar saja pikiranku, tiga tahun lalu Mbah Sujah meninggal dunia. Semua orang di pelosok dusun berduka. Aku pun ikut sedih ketika dia meninggal, tapi aku satu-satunya orang yang diuntungkan dari meninggalnya Mbah Sujah. Tapi bukannya, aku ingin memanfaatkan keadaan. Kenyataannya, memang hanya aku bidan di dusun itu. Pasien mulai datang menghampiriku. Baik hanya sekedar pemeriksaan kandungan atau persalinan. Aku rasa mereka percaya padaku, bukan karena kemampuanku melainkan karena tak ada pilihan lain.

Disatu sisi aku menikmati profesiku sebagai bidan. Walaupun aku hanya dibayar sukarela. Tak apalah, niatku hanya ingin menolong umat manusia. Tapi, ditengah kecintaanku terhadap profesiku, ada sebuah kejadian yang menapar dan menohokku.

Suatu ketika, aku pernah gagal menyelamatkan seorang ibu dan bayinya ketika persalinan. Ibu tersebut menghadapi pendaharan hebat sebelum melahirkan sehingga bayinya meninggal di dalam rahimnya. Maut mengambil sepasang Ibu dan bayinya dalam ketenangan di suatu senja. Namun, suaminya seakan tak terima dengan kenyataan itu. Ia marah kepadaku. Mengucapkan sumpah serapah kepadaku. Dan yang tak disangka, bahwa ia berani mengumpulkan para massa di dusunku, berniat membakar rumahku. Aku dan emak ketakutan. Pikiranku buntu bagaimana caranya meredamkan amarah para massa yang sedang kalut itu. Untung saja, kepala dusun menghentikan aksi tidak waras mereka. Aku masih ingat sekali, aku dan emak saling berpelukan. Dalam batin aku berucap, “ Bidan bukan Tuhan. Bidan hanyalah perantara Tuhan untuk melahirkan anak manusia ke muka Bumi.”

Jika Tuhan menghendakai anak manusia lahir di muka bumi ini maka terjadilah. Tetapi, Jika Tuhan tidak mengendaki lahirnya anak manusia, Dia bisa saja merengkutnya kapan pun.

Semenjak kejadian itu aku tidak lagi menjalankan praktek bidanku. Hampir tiga bulan lamanya. Namun, emak meyakinkanku untuk melanjutkan praktek bidan. Aku mengiyakan.


Jarak tempuhku sudah tak jauh lagi, sebentar lagi aku sampai ke rumah Nyai Darsih. Kenanganku menjadi penghias perjalananku menuju rumah Nyai Darsih. Satu lagi, anak manusia akan lahir melalui perantaraku. Aku mengayuh sepadaku dengan kekuatan maksimalku. Hingga aku berhadapan dengan sebuah jembatan kayu berwarna merah, aku turun dari sepeda lalu menuntunnya melintasi jembatan kayu berwarna merah. Jembatan yang sudah ada sebelum aku lahir, namun masih tetap saja kokoh. Kadang aku belajar dari benda disekelilingku, seperti jembatan merah yang tetap berdiri kokoh walaupun sudah diterpa panas, badai dan angin puting beliung sekalipun. Aku ingin mempunyai jiwa yang kokoh seperti itu, tak kenal menyerah walaupun seribu orang menyerangku dengan sumpah serapah yang tak mengenakkan hati.

Rumah Nyai Darsih berada percis disebelah jembatan merah tersebut. Aku sandarkan sepeda kumbangku di sebuah pagar kayu. Aku mengetuk pintu rumah Nyai Darsih, terlihat dari binar matanya dia sangat menanti kedatanganku. Nyai Darsih menyambutku dengan hangat dan langsung mengantarku ke sebuah kamar. Aku lihat gadis Nyai Darsih, Sari sedang mengeram kesakitan.

“Sudah tahap pembukaan” ucap Nyai Darsih.

Aku menyiapkan segala peralatan medisku, mengeluarkan kain tradisonal bercorak bunga mawar merah yang biasa kugunakan. Nyai Darsih berada disamping Sari, menenangkan sambil mengenggam tangannya. Sedangkan suami Sari memilih untuk menunggu diluar kamar. Ini memang masa-masa tersulit bagi seorang wanita ketika harus berjuang melahirkan buah hatinya, tidak tanggung-tanggung maut menjadi taruhannya.

Sari terus mengedan, karena kepala janin turun dan masuk ruang panggul sehingga terjadilah tekanan pada otot-otot dasar panggul yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Sudah terlihat kepala bayi sudah mulai terlihat, perlahan-lahan bagian tubuh bayi yang lain juga terlihat. Hingga tangis keras bayi pertanda kehidupan seorang anak manusia dimulai. Nyai Darsih terlihat sangat bahagia. Sari pun menghela napasnya, terlihat kelegaan ditengah rasa sakitnya. Nyai Darsih menggendong cucunya, “Jenis kelaminnya laki-laki, sesuai harapanmu, nak” ucapnya kepada Sari seraya mendekatkan tubuh bayi itu kepada Sari. Nyai Darsih lalu memandangku,

“Krisna, akan kuberi nama Krisna”

Aku tersenyum. Tapi, aku berkosentrasi lagi pada pekerjaanku. Setelah bayi itu lahir, biasanya akan mengeluarkan plasenta yang diikuti darah. Aku pun mesti waspada jika suatu saat akan ada pendarahan setelah melahirkan yang mungkin saja membahayakan nyawa Sari.

Fiuh. Aku lega. Proses persalinan berjalan lancar. Aku tahu ini juga berkat emak yang tiada henti melantunkan doa-doa indah untukku. Bagiku, emak adalah segalanya. Bagaimana tidak. Seorang ibu harus meregang nyawa untuk melahirkan seorang buah hatinya lalu merawatnya sebaik mungkin.
Semenjak aku menjadi bidan, dan aku melihat langsung proses persalinan aku semakin menyayangi emak. Aku tahu pengorbannannya itu tidak sepele. Aku belajar dari pengalamanku sendiri.

Perlahan tapi pasti,

Aku pun sudah mendapatkan kepercayaan dari orang-orang di dusun, bukan lagi karena tak ada pilihan lagi. Tapi, aku rasa pola pikir mereka sudah berubah dan mempercayai pengobatan medis.

Betapa bersyukurnya aku di fajar yang cerah ini. Aku bisa menjadi perantara Tuhan untuk menolong seorang anak manusia lahir dengan selamat.

Bintang 14 Hari




“ Apa yang akan kita lakukan?”
“Buat apa yah. Setidaknya kita melakukan sesuatu yang menginspirasi”
Ucap Nisa, sedangkan tiga temannya yang lain yaitu Rachel, Dewi dan Ryan mencoba menelaah kata-kata Nisa. Mereka merupakan satu geng pertemanan. Pertemanan mereka dimulai ketika mereka sama-sama mengambil jurusan Akuntasi Komputer di Universitas Gunadarma. Mungkin karena persamaan nasib dan intensif bertemu, mereka menjadi sangat akrab.

Di pelataran aula kampus Gunadarma, mereka membicarakan tugas kemanusiaan mata kuliah Kewarganegaraan. Dosen Kewarganegaraan menyuruh para mahasiswa untuk melakukan suatu kegiatan yang berguna bagi orang lain. Apa saja asalkan mengenai kemanusiaan. Waktu yang diberikan kepada mereka hanya sekitar dua minggu. Otak mereka memilah-milah ide yang terbaik untuk dilaksanakan.
“Bagaimana jika kita membuat sekolah untuk anak-anak pemulung” celetuk Nisa
“Akh, idenya terlalu sulit untuk direalisasikan” sinis Ryan
“Siapa bilang, aku tahu caranya. Di kompleks rumahku terdapat pemukiman pemulung. Kita bisa mengajar anak-anak pemulung di pemukiman itu.” tegas Nisa
“Ide bagus tuh, Nis.” Ujar Dewi
“Setuju semuanya?” ujar Nisa sesambil senyum
“Setuju”
“Ryan, kamu kok diam. Setuju tidak?” tanya Rachel
“Oke, kita coba.” ujar Ryan
“Nah, begitu dong. Kalau semuanya setuju kan kompak” ujar Rachel

Hari Pertama – Ruang Pertemuan

Observasi. Itu hal yang pertama mereka lakukan. Memantau bagaimana keadaan pemukiman pemulung tersebut. Seusai pulang mereka bergegas menuju lokasi itu. Walaupun diluar sana matahari sedang terik-teriknya menyinari bumi mereka tak tergoyahkan untuk melakukan tugas mulia. Mereka bersemangat, tetapi dalam lubuk hati mereka terbesit kekhawatiran proyek ini tidak berjalan lancar.

“Tenang saja. Dalam melakukan kebaikan pasti selalu ada hambatan. Tak usah resah, karena ada Tuhan yang membantu”

Rachel, Dewi dan Ryan tersenyum mendengarkan perkataan Nisa. Nisa memang dianggap sebagai “sesepuh” oleh tiga temannya. Pemikiran Nisa yang rasional dan intelektual membuatnya disegani.

Benar, perkataan Nisa. Hambatan memang selalu ada. Di area parkir kampus gunadarma yang sangat padat dengan kendaraan bermotor, mereka kesulitan untuk mengeluarkan motornya. Tapi, untungnya ada Pak Satpam yang setia membantu. Ya, ketika rintangan menghampiri percayalah Dewi Penolong akan selalu hadir.

Lokasi pemukiman pemulung itu tak terlalu jauh yaitu daerah Pekayon. Sesampainya disana, Nisa, Rachel, Dewi dan Ryan disambut dengan riuh gempita anak-anak yang sedang bermain kelereng. Mengasyikan. Nisa dan kawan-kawan tersenyum melihat ulah anak-anak itu. Rachel mendekati seorang bocah dari sekumpulan anak-anak itu.

“Hallo Adik, sudah sekolah belum?”

Bocah itu sama sekali tak tertarik dengan pertanyaan Rachel. Meskipun bocah itu menjawab pertanyaan Rachel, tetapi tatapan matanya berpaling dari Rachel. Bocah itu terpaku pada kelereng yang dimainkannya.

“Sudah” jawabnya singkat

Mereka kebingungan beradaptasi dengan lingkungan yang baru diinjaknya. Anak-anak itu terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka kewalahan menhadapi kondisi ini. Anak-anak yang bermain dihadapan mereka pun, kini pindah ke ujung jalan. Sepertinya anak-anak itu terusik dengan kehadiran mereka. Semangat yang membara dalam diri Nisa, Rachel, Dewi dan Ryan perlahan mulai menciut.

“Bagaimana ini” ucap Dewi
“Kita bicarakan saja pada orang tua anak-anak itu” ucap Ryan
“Apa iya, orang tuanya setuju dengan rencana kita?” kilah Rachel
“Jangan menyerah sebelum mencoba. Serahkan semuanya padaku” jawab Ryan tenang

Ryan berjalan menuju sebuah rumah amat kecil. Tiga temannya membuntuti dari belakang. Rata-rata rumah di pemukiman pemulung itu, dindingnya terbuat dari berbagai sambungan triplek dan seutai karung, atapnya hanya sebuah asbes sedangkan tanah menjadi alasnya. Ironis. Jika dibandingkan dengan pemukiman sebelahnya. Perumahan Pekayon yang amat megah. Sangat jauh berbeda dengan pemukiman pemulung yang bahkan dibilang layak pun tak layak. Tak Adil. Tapi, inilah hidup terdiri dari si kaya dan si miskin. Si miskin berjuang mati-matian mencari sesuap nasi, sedangkan si kaya dengan mudahnya memilih makanan yang disukai bahkan terkadang membuang makanan tanpa rasa dosa.

“ Tok…Tok…”

Seorang ibu paruh baya berpakaian daster membuka pintu dan menghampiri Ryan, Dewi , Nisa dan Ryan. Dari raut muka ibu itu tergurat kebingungan. Seraya bertanya, “ Ada perlu apa ya ?”

“Hmm… Begini bu, perkenalkan saya Ryan dan ini teman saya Dewi, Rachel dan Nisa.

Maksud kedatangan kami kemari ingin mengajar anak-anak sekitar sini untuk belajar membaca dan menulis. Gratis kok bu, tanpa dipungut biaya.”

“Wah, boleh tuh, dek. Sebentar saya pangilkan dahulu anak-anaknya” kata ibu paruh baya

Mata ibu paruh baya itu berkaca-kaca. Tersirat kesenangan yang luar biasa. Dan tanpa di komando, ibu itu bergegas memanggil anak-anak yang sedang asyik bermain kelereng.

“Hei, Imbot dan semuanya. Ayo, kemari” teriak ibu paruh baya
Seperti magnet anak-anak itu langsung menghampiri ibu paruh baya dengan berbondong-bondong.
“Ini, kakak ini mau mengajar baca tulis. Kalian mau ?” Tanya ibu paruh baya
“Mau… mau”

Lega rasanya, mendengar ucapan anak-anak itu barusan. Sekumpulan anak yang tadinya bersikap acuh tak acuh kini bersikap manis dihadapan mereka. Memang benar ucapan pepatah tak kenal maka tak sayang. Saat Ryan, Nisa, Dewi dan Rachel memperkenalkan diri mereka, anak-anak itu sangat ramah dan bersikap antusias untuk belajar. Tapi sayang, hari ini mereka memutuskan belum memulai aksi mereka. Esok seusai pulang kuliah, mereka akan memulai hari pertama mengajar anak-anak pemulung itu.

“Disini masih banyak yang belum sekolah. Ada juga sih yang sekolah, tapi itu juga gratis” ujar ibu paruh baya

Memilukan. Di era globalisasi, masih ada putra-putri bangsa yang terpinggirkan untuk
mengenyam manisnya bangku sekolah.
Sambil mengobati hati pilu mereka dan menghibur anak-anak pemulung itu. Mereka melakukan foto bersama berlatar rumah amat sederhana sekaligus mengakhiri kunjungan observasi mereka untuk hari ini.

Hari Kedua – Awal Pembelajaran

Peralatan sekolah seperti buku, pensil, penghapus dan sebagainya telah Ryan, Nisa, Dewi, Rachel siapkan untuk mempelancar visi mereka. Putaran waktu seperti lambat berjalan saat mereka mengikuti mata kuliah Bahasa Inggris. Suasana kelas yang kondusif untuk belajar pun tak membuat mereka dapat berkonsentrasi penuh. Angan mereka tengah singgah di sebuah pemukiman pemulung. Mereka tak sabar menunggu moment pertama sebagai para pengajar anak-anak pemulung. Dewa Waktu seperti mengerti hati mereka, dipercepatlah detik waktu . Dan, waktu yang dinanti pun tiba.

Ajaib. Anak-anak pemulung itu sudah datang sebelum mereka tiba di tempat itu. Terdengar suara kegaduhan anak-anak itu bernyanyi. Semangat mereka tumbuh dua kali lipat bersinergi. Menilik tingkah anak-anak itu yang sangat antusias membuat mereka sunguh-sunguh mengerjakan proyek kemanusiaan ini dengan hati keikhlasan. Nama proyek kemanusiaan mereka adalah “Sekolah Bintang.”

Mereka mengajar disebuah mushola kecil di pemukiman pemulung tersebut. Pengelolah mushola mengizinkan mereka, memakai mushola ini untuk sarana belajar. Tuh kan, setiap melakukan kebaikan pasti dibukakan jalan.
Pertemuan pertama dalam proses belajar diawali dengan perkenalan anak-anak itu dengan menyebutkan apa cita-citanya. Anak-anak itu berkisar 15 orang. Lumayan banyak dari perkiran. Anak-anak itu maju ke depan satu persatu dengan wajah tersipu malu, sama halnya dengan Nisa dan kawan-kawan. Pipi mereka merona karena ibu dari anak-anak itu hadir menemani anaknya belajar. Ibu anak-anak itu juga tidak kalah antusias mendukung anaknya belajar bersama Nisa dan kawan-kawan.

Banyak hal yang dapat dipetik dari kejadian hari ini. Diantaranya ketika mereka mengajarkan alphabet, anak-anak itu masih ada yang belum mengenal huruf bahkan beberapa anak ada yang belum dapat memegang pensil dengan baik. Padahal, pemerintah mengkampayekan program Indonesia bebas buta huruf. Tetapi, tak bisa dipungkiri masih banyak warga Indonesia yang “tercangkit” buta huruf.

Namun, semangat anak-anak pemulung ini patut dicontoh bagi anak Indonesia yang lainnya. Bagi anak-anak Indonesia yang lebih beruntung mendapatkan kesempatan menuntut ilmu, harus mempunyai semangat belajar yang tinggi dan bukan menganggap pendidikan merupakan sesuatu yang sepele.

Hari Keempat – Tak Mudah Menjadi…

Nisa, Dewi, Rachel dan Ryan mulai kerepotan mengurusi anak-anak itu. Bukan karena anak-anak itu malas, tetapi sangking aktifnya anak-anak itu bertanya kepada mereka.

Mereka bertanya seperti mesin senapan yang tiada henti-hentinya mengeluarkan peluru dari ujung mulutnya. Agak kewalahan menjawab pertanyaan anak-anak itu.

Namun, proyek kemanusiaan yang dilakukan oleh mereka merupakan pengalaman yang sangat berharga. Ketika pelajaran hidup didapati dan menggiring mereka pada suatu titik. Pengertian.

Menjadi seorang pengajar ternyata tak mudah. Sebelum hari ini, mereka selalu mengeluh ketika mendapatkan pengajar yang tidak sesuai dengan keinginan hati. Sebenarnya, para pengajar selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk para muridnya. Meskipun, sering disalahmengerti oleh para murid.

Mulai dari sini, mereka mengerti. Batapa besarnya jasa seorang pengajar. Mereka berjanji untuk belajar tak menyalahkan dosen ketika tak mengerti suatu pelajaran. Bagaimana pun pengajar telah berusaha memberikan ilmu yang dimilikinya. Menjadi seorang pengajar adalah suatu pekerjaan mulia. Para pengajar seumpama cahaya ditengah kegelalapan yang menerangi benda-benda disekelilingnya.

Hari kedelapan – Pilu

“Imbot, kenapa buku kamu? Basah lepek seperti ini.”
“Iya kak, kemarin malam hujan. Rumah aku bocor, bukunya jadinya kebasahan. Maaf ya, kak”

Rachel terpaku mendengar ucapan bocah bernama Imbot. Ia tak tega dengan apa yang terjadi dengan Imbot. Seketika Rachel berfikir, apa sejahat itu takdir kepada anak tak berdosa seperti Imbot. Kenapa semesta tak menjaga Imbot malam itu, setidaknya buku belajar yang dimilikinya. Membiarkan tulisan itu luntur tak berbekas. Muka

Imbot memelas, kesedihan jelas terpancar dari mimik wajahnya. Tulisan yang dia ukir di buku itu dengan tangan kirinya tinggal kenangan.

Apa ini yang namanya hidup. Pilu. Melihat kenyataan begitu pahit. Sementara para belingsatan tertawa bebas diatas penderitaan makhluk kecil. Mengapa Imbot dan kawan-kawannya tidak diberi kesempatan untuk mencicipi dunia lebih baik. Sedangkan manusia yang tak pantas disebut manusia malah rakus pada kehidupan.

Mungkin ini yang disebut takdir Tuhan. Terkadang, Tuhan memberikan sesuatu yang dianggap buruk oleh manusia tetapi Tuhan tahu mana yang terbaik untuk kemashalatan umatNya. Kaya atau miskin toh mempunyai derajat yang sama dimata Tuhan.
“Iya, tak apa. Ini buku barumu” ucap Rachel

Hari Kesepuluh – Sebuah Perbincangan

Ditengah guyuran hujan membasahi bumi, biasanya benda hidup menghentikan aktifitas sejenak untuk menikmati dentingan hujan. Di sebuah beranda mushola, dua benda hidup yaitu Ryan dan Hendri memperbincangkan sesuatu.

“Yah, Barcelona kalah.” ucap Ryan
“Padahal Messi sudah bagus mainnya.” ucap Hendri
“Tenang, Barcelona pasti bangkit. Hendri, kamu ingin jadi apa jika sudah besar?”tanya Ryan
“Jadi, pemain bola terkenal seperti Ronaldo.”jawab Hendri

Ryan tersenyum mendengar jawaban Hendri. Bukan meremehkan, justru Ryan bangga bocah sekecil itu sudah memiliki cita-cita tinggi. Mata Hendri tegas mengucapkan bahwa dia ingin menjadi seorang pesepakbola. Mata adalah jendela hati. Itu pertanda hati Hendri mencerminkan kesungguhan. Walaupun hidup dalam keterbatasan tetapi pikiran Hendri tak berbatas ruang.

Ryan membatin dalam hati agar bocah dihadapannya menjadi seorang pesepakbola yang diinginkannya. Seraya berdoa dan melempar harapan ke langit. Semoga hujan meluruhkan impian bocah kecil itu kelak. Semesta mengamini.

Hari Kedua Belas – Problematika dan Realita Hidup

Sudah memasuki hari-hari terakhir proyek kemanusiaan ini. Mereka melonggarkan jam belajar yang diberikan. Setelah satu jam memberikan pelajaran rutin kepada anak-anak itu, Ryan berinisiatif mengajak anak-anak itu bermain sepakbola. Di sebuah tanah lapang, anak-anak pemulung yang kebanyakan laki-laki bersemangat bermain sepakbola dengan mengenakan sandal, sedangkan anak perempuan bersorak dipinggir lapangan. Anak-anak itu bermain bola sambil tertawa lepas.

Nisa, Dewi dan Rachel mengamati dari kejauhan. Tiga perempuan itu juga tertawa lepas hingga hadir sebuah pengertian tentang hidup.
“Aku salut dengan orangtua anak-anak itu. Mereka tak mengizinkan anak-anaknya memulung.” ucap Dewi
“Yah, memang seperti itu harusnya. Anak-anak mereka biarkan bersekolah dan bermain layaknya anak yang lain. Walaupun hanya sebagian saja yang bersekolah.” pikir Nisa
“Aku rasa ini perubahan pola pikir. Orang tua anak-anak itu tak ingin anaknya senasib dengan mereka.” ujar Rachel tegas.

Orang tua dari anak-anak itu melihat problematika hidup yang dialaminya tak ingin dirasakan oleh anak mereka. Bagaimana pun juga anak itu anugerah dan titipan dari Tuhan yang nanti akan dipertanggungjawabkan. Mereka mendidik anak-anak mereka menjadi seorang anak yang tak menyerah pada nasib. Nasib bisa dirubah, siapa tahu kelak buah kerja keras mereka menyekolahkan anaknya membuahkan hasil manis. Realitas yang ada sekarang ini tak kekal abadi.
“Problematika akan selalu ada dalam hidup. Tetapi, realita hidup dapat diubah tergantung bagaimana cara kita memandang hidup” ujar Rachel

Hari Keempat Belas – Koma

Hari terakhir Nisa, Rachel, Ryan, dan Dewi menjalankan proyek kemanusiaan mereka. Proyek mereka memang telah usai. Tetapi kemarin malam di rumah Dewi, mereka memutuskan proyek ini berlanjut. Mereka ingin terus mengajar anak-anak pemulung itu.
Hati mereka terlanjur menyukai anak-anak itu. Mereka ingin berbuat sesuatu yang berguna bagi orang lain. Setidaknya untuk anak-anak pemulung itu hingga lancar membaca.

Mereka seolah-olah bintang dan anak-anak itu adalah hamparan langit yang siap menampung bintang-bintang yang hendak menyinari bumi. Senyum anak-anak itu adalah senyum mereka. Mereka ingin melihat salah satu dari mereka berhasil, menjadi seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang menghapuskan penindasan dan ketidakadilan dengan senyuman. Senapan dibuat membeku. Hingga tak ada lagi peperangan yang menimbulkan kegetiran hidup. Hanya tercipta kedamaian di dunia ini. Kedamaian dan ketentraman hati melihat anak-anak kecil tertawa dan menari bahagia. Dan, semua orang berkata hidup ini indah.

MALARINDU



Dimuat di buku kumpulan cerpen Valentine Day terbitan Nulis buku 



Apakah kau percaya takdir? Bahwa setiap orang sudah mempunyai garis takdirnya masing-masing. Garis takdir yang setiap guratannya memiliki arti. Arti yang misterius, namun begitu misteriusnya hidup, kita harus percaya akan hal-hal yang ditakdirkan. Aku percaya bahwa setiap garis takdir yang diperuntukkan untukku adalah yang terbaik. Aku memahami arti sebuah pertemuan. Setiap dua jiwa yang bertemu pasti mempunyai caranya masing-masing. Walaupun dengan cara yang tidak masuk akal sekalipun


Aku gelisah. Aku hadir disini seperti orang linglung. Padahal aku tahu tujuanku kesini untuk apa. Aku juga tahu apa yang harusnya aku perbuat di tempat ini. Tapi, sedari tadi aku hanya bisa termenung. Memandang nanar ke arah depanku. Di depanku terdapat barisan manusia yang membentuk sebuah garis membentang yang membentuk garis horizontal. Kerumunan orang yang mengantri ini bukan untuk berebut mendapatkan sembako atau mengantri minyak tanah. Mereka mengantri untuk sebuah goresan tinta. Goresan tinta yang berukir sebuah identitas. Tanda tangan. Mereka rela mengantri untuk mendapatkan sebuah tanda tangan. Mereka rela mengantri berjam-jam agar novel yang mereka genggam saat ini dapat dibubuhkan tanda tangan penulisnya.


Aku bukannya tidak ingin mengantri. Aku malah ingin sekali mendapatkan tanda tangan penulis favoritku yang kini dapat kulihat rupanya. Tetapi kakiku sukar untuk beranjak dari tempatku berdiri saat ini. Kenapa? Aku tak tahu kenapa. Hatiku berdegup kencang. Bahasa tubuhku mencerminkan sesuatu kegalauan yang tak kumengerti. Aku hanya bisa terpaku menatap novel yang ada dihadapanku. Novel berjudul “MALARINDU” dan jam dinding sebagai sampul depannya. Detak jam. Yah, seandainya saja aku bisa menghentikan detik, pasti sudah kulakukan sekarang.


“Oh..God. mengapa lama sekali?” keluhku


Aku ingin orang-orang di ruangan ini berhamburan keluar. Hingga di ruangan ini hanya ada aku dan si penulis.  Aku menarik napasku yang sudah mulai terengah-engah. Aku mencoba untuk santai, walaupun aku tahu aku tidak bisa santai dalam kondisi seperti ini. Hatiku sangat kalut. Sedikit lagi, ya sedikit lagi. Perlahan hanya tinggal segelintiran orang saja yang menghiasi ruangan ini. Aku melangkah maju seraya menghitung sisa orang yang mengantri. Sepuluh. Tujuh. Lima. Tiga. Dua. Dan…


“Nyoman.” panggilku


Akhirnya suaraku keluar juga. Kuberanikan diriku karena saat ini sudah tiada lagi yang tersisa, hanya ada aku dan Nyoman – penulis favoritku. Ia menoleh melihatku lalu tersenyum melihat ekspresi mukaku yang kegirangan bukan main.


“Oh, masih ada satu lagi.”


Aku menjulurkan novel karyanya yang berjudul “Malarindu” ke Nyoman. Dari dekat ia tampak berkharisma sekali. Aku pandangi rupanya. Terlihat kantung mata dan lingkaran mata yang menghiasi matanya. Itulah mata unik seorang penulis. Mata yang indah. Menyelami malam, merangkai kata-kata hingga ia rela jam tidurnya dikurangi. Selama menatap matanya, anganku melayang kemana-mana. Di bola matanya aku melihat serentetan kata-kata indah. Ahh…edan!


“Siapa namamu?”
“Mala…ehm… Mala Rindu”
“Hah? Itu benar nama aslimu?”
“Iya, itu nama asliku. Mala spasi Rindu. Apa perlu aku tunjukan KTP milikku agar kamu percaya?”
“Oh, nggak usah. Aku percaya kamu.”


Aku mengangguk kecil. Aku suka kalimat akhirnya, Aku percaya kamu. Kenapa kata demi kata yang ditulis atau diucapnya selalu membuatku terpesona. Aku memperhatikannya yang sedang mengukir namaku, lalu membubuhkan tanda tangannya. Aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Ia pun mengucapkan hal serupa. Kami saling bertatapan. Lama sekali membentuk untaian sunyi. Kesunyian yang memberikan sebuah arti yang lebih dalam dari sekedar ucapan. Mata indahnya telah merangkulku lebih dalam. Aku sadar akan satu hal. Aku menginginkannya.


“Kamu adalah salah satu pembaca yang aktif berkomunikasi denganku melalui surel.”
“Oh..ya?”
“Iya. Bahkan terbilang sangat aktif. Makanya nama Mala Rindu selalu melekat di otakku. Aku pikir itu bukan nama aslimu.”
“Itu nama asliku.”
“Aku percaya kok. Namamu kebetulan saja sama dengan judul novelku.”


Aku tersenyum. Senangnya ia berucap demikian. Tak kusangka ia sangat baik. Persis saat aku berkomunikasi lewat surel, dirinya memang sangat ramah. Aku semakin kagum saja dengannya. Oh, bukan hanya ngefans saja tetapi aku juga menyukainya. Dalam artian, suka antara wanita dan pria. Aku rasa, aku jatuh cinta dengannya. Tuh kan, aku jadi ngelantur kemana-mana.


“ Mala Rindu”
“Iya”
“Omong-omong, aku ingin mengajakmu makan malam sebagai tanda terima kasih karena kamu adalah pembaca setia karyaku dan sering berkomunikasi denganku lewat surel. Apakah kamu keberatan?”
“Keberatan? Tentu saja tidak. Aku malah sangat senang bisa makan malam dengan penulis favoritku”


Inilah yang aku sebut dengan cara yang tidak masuk akal. Cinta hadir dengan tiba-tiba. Membius perasaan, meleburnya menjadi satu. Memabukkan hati, mangalir disela-sela detak jantung yang bernyawa maupun tidak. Cinta selalu punya caranya sendiri. Cinta tahu kemana ia akan berlabuh walaupun harus menembus misteri yang unik dan tak dapat dimengerti.


Nyoman. Penulis favoritku yang karyanya selalu mengiang-ngiang dalam relungku, kini dapat kurengkuh hadirnya. Dulu, aku hanya bisa berandai bertemu dengannya. Melalui serentetan kata yang terurai dalam surel. Dengannya aku merasa nyaman. Saat ini, setelah mata kami saling bertautan, kami sama-sama menyadari bahwa ada yang tidak biasa. Ini bukan sekedar hubungan antara pembaca dan penulis saja. Tapi, ada ikatan rasa disana. Surel demi surel yang terjalin antara aku dan dia telah memberikan sebuah rasa. Kami terjerat dalam sebuah getaran rasa.


“Sudah lama aku penasaran dengan sosokmu.”
“Apalagi aku. Sampai kebawa mimpi.”
“Namamu unik. Mala Rindu. Aku pikir itu hanya akal-akalanmu agar surelmu bisa dibalas olehku.”
Aku tersenyum. “Itu nama asliku. Aku juga terheran-heran mengapa orang tuaku memberikan nama itu.”
“Mungkin ibumu sering merasakan penyakit malarindu saat mengandungmu.”
“Hahaha.”


Ada yang lain. Aku merasa ada benda yang menarik hatiku dan hatinya untuk bersatu. Aku menikmati setiap percakapan dengannya. Seperti percakapan yang begitu mengalir antara aku dan Nyoman di setiap surel. Percakapan melalui surel yang sudah terjalin selama tiga tahun. Kau tahu? Aku sangat percaya bahwa kata mempunyai kekuatan dan napas. Setiap kata yang tetulis dapat memberikan arti yang beragam. Dari kata pulalah kita bisa melihat ketulusan dan membaca perasaan seseorang. I love words. Kata, kata dan kata. Itulah sebuah permulaan yang menghantarkanku kepada Nyoman.
***
Malarindu. Sebuah novel yang menceritakan hubungan jarak jauh antara Janus dan Juli. Seperti nama mereka yang berjarak antara Januari dan Juli, mereka terpisahkan dengan bermil-mil jarak yang membentang. Tak jarang mereka didera rasa rindu yang menyiksa. Padahal setiap detik mereka ingin semua rasa rindu yang ada terlampiaskan jatuh dalam sebuah dekapan. Namun apa daya, jarak yang memaksa mereka untuk menelan habis-habisan rasa rindu mereka. Sampai akhirnya mereka terjangkit penyakit malarindu. Janus dan Juli mencoba mencari obat untuk menyembuhkan penyakit malarindu mereka. Tapi semua nihil, tidak ada tabib yang menjual obat penyembuh malarindu. Akhirnya mereka membawa penyakit malarindu tersebut hingga mereka meninggal.


Aku sangat suka cerita novel tersebut. Nyoman berhasil menciptakan alur yang begitu roman namun kadang diselingi dengan komedi yang menghibur. Semenjak membaca novel Nyoman yang berjudul Malarindu, aku nekat untuk mengirim surel kepadanya. Novelnya kali ini sangat berkesan bagiku, karena ia menggunakan namanya sebagai judul novelnya.


From    : malarindu@mail.com
To        : nyoman@mail.com
Subject: malarindu
Date: 24 Januari 2008 12:04 PM


Dear Nyoman,
Aku suka sekali lagi dengan novelmu kali ini. Aku suka alurnya. Apalagi judul novelmu kali ini sama dengan namaku. Makasih karena telah memakai namaku. Aku senang sekali.

Mala Rindu



From    : nyoman@mail.com
To        : malarindu@mail.com
Subject: Re: malarindu
Date: 31 Januari 2008 05.32 AM

Hello Mala Rindu,
Wah, saya terkejut sekali namamu sama persis dengan judul novel saya. Saya pikir nama malarindu hanya sebagai bualan belaka. Mudah-mudahan kamu gak pernah terserang malarindu ya, obatnya susah tuh. Btw, thank you so much.

Salam,


Nyoman


Aku menjerit. Rasanya senang sekali surelku dibalas oleh penulis favoritku. Surelku yang pertama itu membuka jalan bagiku untuk masuk ke dalam kehidupan Nyoman. Nyoman menyambut diriku dengan sangat ramah. Surel demi surel yang ia kirimkan untukku seakan-akan seperti nyawa baru bagiku. Aku begitu semangat menjalani hari ketika aku lihat  ada surel masuk di kotak masukku. Betapa bahagianya ketika kami dapat bercengkrama melalui dunia maya namun semua yang terjalin tampak nyata. Dan, ada sebuah surel darinya yang membuat hatiku makin terperajat.


From    : nyoman@mail.com
To        : malarindu@mail.com
Subject: cinta janus dan juli
Date: 12 Juli 2009 09.54 AM

Dear Mala Rindu,
Semakin lama kok aku merasa sesuatu yang unik ya diantara kita. Aku seperti merasa bahwa kita adalah Janus dan Juli di kehidupan nyata. Aku gak tahu kamu merasakan hal yang sama atau nggak? Tapi, kayaknya aku perlu obat untuk menyembuhkan penyakit malarinduku deh hehe.

“Aku akan terus merasakan getaran mahadahsyat ini. Kata Dewa pemilik semesta, getaran ini disebut malarindu. Rindu yang terlanjur membara. Biarkan raga dan jiwaku digerogoti malarindu. Aku rela. Hanya demi kamu, Juli.” – Janus

Hug

Nyoman

From    : malarindu@mail.com
To        : nyoman@mail.com
Subject: Re: cinta janus dan juli
Date: 13 Juli 2009 06.34 PM

Dear Nyoman,
Kamu tahu? Getaran mahadahsyat itu selalu menghunjam hatiku. Rasanya tersiksa sekali. Kini aku tahu kenapa malarindu adalah penyakit paling menyakitkan di dunia ini. Malarindu, ah rasanya aku ingin merebah dalam pelukmu.

“Aku tahu obat mujarab dari malarindu adalah dekapan dan kecupan. Tapi, bagaimana kita bisa saling memberikan dekapan dan kecupan. Ini mustahil, kita berjarak bulan Februari hingga Juni. Atau mungkin saja, kita bisa mengirimkan dekapan dan kecupan ini melaluinya.” – Juli

Kiss

Mala Rindu


Hari ini, setelah satu tahun pertemuan antara aku dan dia di sebuah ruangan yang membuatku gelisah. Namun perlahan perasaan gelisah itu berubah menjadi romansa cinta. Romansa yang membuatku kini berdiri disebelah Nyoman. Di genggamannya. Malam yang bertaburan bintang, seakan nyata memberikan kilau terindahnya untuk menyinari hatiku dan Nyoman yang sedang kasmaran. Nyoman, lelaki yang kini menjerat kalbuku. Ia menjeratku dengan seuntai kata, lalu melalui tindakan nyata. Aku tahu hatiku dan hatinya saling terpaut membuat mahligai cinta yang teramat indah.


Aku tahu banyak perbedaan yang terjalin antara aku dan Nyoman. Tapi, aku percaya bahwa cinta dapat melelehkan segala perbedaan antara kami. Perbedaan umur yang terpaut lima belas tahun sama sekali tidak menghentikan cintaku kepada Nyoman. Cinta tak kenal batasan. Dulu, sebelum pertemuan ini kami terpisah dengan jarak dan waktu. Kami hanya bisa berhubungan melalui surel. Rasanya bertemu dengannya apalagi dapat berjarak sedekat ini adalah mustahil. Aku percaya memahami segala perbedaan yang ada antara aku dan Nyoman hanya masalah waktu. Aku mencintainya. Apapun dia.


Malam semakin temaram, cahaya bulan juga tak lelah memancarkan sinarnya. Berkilauan bagaikan kunang-kunang yang tiada hentinya menari. Didekat Nyoman aku merasakan sesuatu yang indah bagaikan musim semi.  Bunga-bunga merekah cantik menghiasi sudut-sudut bumi. Aku seperti bunga yang sedang tumbuh merekah yang siap menyibak wangi tubuhku kepada Nyoman. Bahagia itulah gambaran perasaanku. Tangan kami masih erat menggenggam, sedari tadi hanya mata kami yang berbicara. Melampiaskan rasa. Nyoman menatap mataku penuh arti. Ia mengusap bibirku perlahan lalu mengecup ujung bibirku dengan lembut. Kecupan yang memercikan kehangatan. Aku merasakan manis bibirnya, semanis madu yang siap dihisap oleh kupu-kupu terindah di dunia.


Aku sadar malam ini misteri telah terpecahkan. Misteri siapa pasangan puzzle yang cocok untuk hatiku. Aku telah menemukannya. Nyoman melamarku malam ini. Dengan cara yang sangat sederhana, ia menunjukan tekadnya untuk hidup bersamaku. Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan haruku. Malam ini, aku tahu aku miliknya selamanya.

Andai Aku Tahu





Aku akan mendengarkan kata hatiku dengan lebih sungguh-sungguh.

Aku akan lebih banyak menikamati....lebih sedikit khawatir.

Aku akan tahu bahwa sekolah akan segera selesai...dan pekerjaan akan...tidak apa-apa...

Aku tidak akan mengkhawatirkan apa yang dipikirkan oleh orang lain.

Aku akan lebih banyak bermain, lebih sedikit mengeluh.

Aku akan menghargai vitalitas dan kulit yang kencang.

Aku akan tahu bahwa kecantikanku tercermin dalam kecintaanku pada hidup.

Aku akan tahu betapa orangtua akan mencintaiku dan aku percaya bahwa mereka mengasuhku sebaik mungkin.

Aku akan menikmati perasaan jatuh cinta dan tak terlalu mengkhawatirkan apakah hubungan itu akan berlangsung baik.

Aku akan tahu hubungan itu mungkin tidak berlangsung baik...tapi akan ada orang yang lebih baik.

Aku tak akan takut bertingkah seperti anak kecil.

Aku akan lebih berani.

Aku akan mencari kualitas yang baik dalam diri setiap orang dan menikmati persahabatan dengan mereka.

Aku tak akan bergaul dengan orang-orang hanya mereka populer.

Aku akan mempercayai teman-temanku.

Aku akan menjadi sahabat yang baik.

Aku akan lebih menghargai dan bersyukur.


Diambil dari Buku "Chicken Soup For Soul"

Jika



Jika kau mampu mempertahankan keberanianmu saat orang di sekitarmu kehilangan keberanian mereka dan menyalahkanmu
Jika kau dapat mempercayai dirimu saat semua orang meragukanmu, tapi mentolerir keraguan mereka
Jika kau bisa menunggu dan tak lelah menunggu
Atau dibohongi tapi tak membohongi
Atau dibenci,tapi tak sudi membenci
Tapi juga tak tampil terlalu baik atau bicara terlalu bijak

Jika kau dapat bermimpi, dan tak membiarkan impian menguasaimu
Jika kau dapat berpikir, dan tak membiarkan pikiran menjadi tujuanmu
Jika kau menghadapi kemenangan dan bencana
Dan memperlakukan kedua penipu itu secara sama
Jika kau tahan mendengar kebenaran yang kau ucapkan diputarbalikan oleh si penjahat untuk menjebak si bodoh
Atau melihat segala sesuatu yang kau cintai, rusak,
Dan memungutnya dan membangunnya dengan peralatan usang

Jika kau dapat menumpuk semua kemenanganmu
Dan mempertahankannya dalam satu langkah
Dan kalah dan mulai lagi dari awal
Dan tak pernah membicarakan kesalahanmu
Jika kau dapat memaksa hati dan saraf ototmu
untuk melakukan giliran lama setelah mereka hilang
Dan bertahan saat kau tak memiliki apa-apa
kecuali kehendak yang mengatakan: "Bertahanlah!"

Jika kau dapat berbicara dengan orang banyak dan mempertahankan nilai-nilaimu
Atau berjalan bersama raja, tanpa kehilangan akal sehat
Jika musuh dan kawan tercinta tak dapat menyakitimu
Jika semua orang berarti bagimu, tapi tak berlebihan
Jika kau dapat mengisi menit-menit yang tak berampun dengan enam puluh detik yang seharga lari jarak jauh
Milikilah bumi ini dan semua didalamnya
Dan, yang lebih penting - Kau menjadi manusia


Diambil dari Buku "Chicken Soup For Soul"

Desiderata


Pergilah dengan tenang diantara kebisingan dan ketergesaan, dan ingatlah ketentraman yang ada dalam kesunyian sejauh mungkin tanpa menyerah, berbaiklah dengan semua orang. Ucapkan kebenaranmu dengan tenang dan jelas; dengarkan orang lain, bahkan yang membosankan dan yang bodoh; mereka juga mempunyai kisah masing-masing.

Hindari orang yang nyaring dan agresif, mereka sungguh menyebalkan. Kalau kamu membandingkan dirimu dengan orang lain, kamu mungkin akan sedih atau terasa hampa, karena selalu ada orang yang lebih hebat atau lebih jelek daripadamu. Nikmatilah apa yang kamu raih dan rencanamu.

Tetaplah menaruh minat dalam kariermu, betapapun rendahnya; pekerjaanmu adalah milikmu yang nyata dalam waktu yang terus berubah, yang memberikan keuntungan. Berhati-hatilah dalam masalah bisnis; karena dunia penuh tipu daya. Tapi, jangan biarkan hal ini membutakanmu pada ketulusan yang ada; banyak orang mencoba meraih idealisme tinggi;dan dimana-mana kehidupan penuh dengan kepahlawanan.

Jadilah dirimu sendiri. Terutama jangan berpura-pura mengasihi. Tapi, jangan sinis dengan kasih; karena di hadapan semua kegersangan dan keburukan itu. Kasih adalah seabadi rumput. Terimalah kebijakan tahun-tahun yang kamu lalui, serahkan baik-baik segala hal dari masa muda. Pupuklah kekuatan semangat untuk melindungimu dalam musibah mendadak. Tapi jangan ganggu dirimu dengan khayalan. Banyak rasa takut yang dilahirkan dari kelelahan dan kesepian. Di balik disiplin, berbaiklah pada dirimu sendiri.

Kamu adalah anak alam semeseta, tidak berbeda dengan pohon dan bintang; kamu berhak ada disini. Dan entah jelas bagimu atau tidak, tak diragukan lagi, alam semesta terbuka sebagaimana mestinya. Karena itu, berimanlah kepada Tuhan, apapun keyakinanmu dan apapun perkerjaan dan cita-citamu, dalam hiruk pikuk kehidupan. Berdamailah pada jiwamu.

Dengan segala tipu daya itu, pekerjaan yang tidak menarik dan impian yang hancur, dunia tetap indah. Cerialah. Berusahalah untuk bahagia.

Diambil dari Buku "Chicken Soup For Soul"